Polri Wajib Benahi Internalnya Sendiri, Kalau Tidak Akan Sia-sia

Wiranto Dorong Percepatan Reformasi Hukum Nasional

Sabtu, 08 Oktober 2016, 08:00 WIB
Polri Wajib Benahi Internalnya Sendiri, Kalau Tidak Akan Sia-sia
Wiranto/Net
rmol news logo Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto meminta Polri melakukan pembenahan di internalnya secara menyeluruh dan tegas, termasuk memberantas polisi nakal.

Dengan begitu, maka paket kebijakan reformasi hukum atau revitalisasi hukum bisa berjalan baik.

Hal itu dikatakan Menko Polhukam Wiranto usai upacara penganugerahan tanda Bintang Bhayangkara Utama kepada Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian di Mabes Polri, ke­marin.

"Kalau aparat hukum tidak bisa mengemban tugas itu, maka revitalisasi hukum nasional akan sia-sia," kata Wiranto.

Wiranto meminta jajaran Polri segera melakukan percepatan langkah mendukung revitalisasi hukum nasional.

"Posisi hukum saat ini sangat buruk, banyak kekotoran yang melingkari. Hukum perlu di­kuatkan dan aktor utamanya itu Polri," ucap Wiranto.

Wiranto menegaskan, Kapolri Jenderal Tito Karnavian diminta tidak ragu melakukan rotasi pada jabatan strategis Polri.

Dengan menempatkan orang dengan kemampuan mumpuni di jabatan strategis, Wiranto yakin, Polri bisa melakukan revitalisasi hukum nasional.

"Tumor di Polri harus diberan­tas, barulah Polri bisa ikut men­sukseskan revitalisasi hukum nasional," jelas Wiranto.

Menurut Wiranto, mewujud­kan revitalisasi hukum nasional bukan perkara mudah. Polri butuh dukungan dan bantuan dari masyarakat agar semakin dipercaya.

"Ketika aparat tidak bisa jadi panutan, maka upaya revitalisasi hukum akan sia-sia," katanya.

Selain itu, masih buruknya penegakan hukum membuat Polri perlu mengoreksi internal­nya dengan langkah yang kuat dan tegas.

Wiranto mengakui, tugas yang harus dikerjakan Polri bukan perkara mudah. Dalam prosesnya pun Polri butuh kerja sama dengan masyarakat agar kembali menjadi sebagai satu organ yang dapat dipercaya, dan diandalkan masyarakat.

"Ini pekerjaan yang tidak mudah. Ini tugas bersama," terangnya.

Dalam acara penganugrahan tersebut, Wiranto juga melaku­kan video conference dengan para pejabat utama Mabes Polri, dan 33 Kapolda di seluruh Indonesia, selama 10 menit.

Dalam video conference, Menko Polhukam mengingat­kan agar Polri mendukung pa­ket kebijakan reformasi hukum nasional.

"Saat ini telah terjadi liberalisasi ekonomi sehingga perlu ada satu perubahan dan akselerasi sangat cepat dari Polri untuk mengawal perkembangan masyarakat yang dina­mis. Contohnya, dulu belum ada cyber, sekarang ada illegal loging, human trafficking, narkoba. Tanpa ada perubahan yang signifikan akan ketinggalan," pesannya.

Dalam rangka reformasi yang digulirkan presiden lewat nawacita, kata Wiranto, presi­den sendiri sudah melakukan reformasi kuat di bidang ekonomi melalui 13 paket ekonomi. Kesuksesannya pun tentu harus ditunjang revitalisasi hukum nasional lantaran penegakan hukum sampai saat ini masih sangat buruk.

"Hukum perlu dikuatkan karena banyak kekotoran yang mengingkari filsafat hu­kum. Salah satu aktor utama adalah kepolisian yang da­pat mengubah citra tersebut," tuturnya.

Di tempat sama, Kapolri Jenderal Tito Karnavian siap melakukan reformasi hukum di internalnya.

"Kami ingin tingkatkan ke­percayaan publik. Saat Polri dipisah dari ABRI, ekspektasi masyarakat tinggi," kata Tito.

Namun, bekas Kapolda Metro Jaya ini menegaskan, bahwa pemberian promosi kepada Brigjen Raja Erizman, yang per­nah tersandung kasus Gayus Tambunan di masa silam, sudah sesuai aturan yang berlaku di institusi Polri.

"Kita memiliki sistem sendiri. Orang yang pernah membuat kesalahan di masa lalu, kita tidak ingin matikan karir mereka. Bisa saja orang yang berbuat salah tapi justru terpacu, terlecut untuk bangkit," kata Tito.

Hal itu karena ada yang memacu dia untuk memperbaiki diri, memperbaiki citranya. Di dalam sistem Polri anggota yang salah jelas ada mekanisme. Baik itu kode etik, atau pidana. Kalau sudah diproses kode etik, biasanya akan diber­ikan hukuman.

"Misalnya enam bulan tidak promosi (jabatan). Tapi setelah dilakukan itu sudah dinamakan pemutihan, dia sudah kembali putih lagi dan silakan berkom­petisi lagi. Kita tidak fair kalau seandainya orang yang per­nah berbuat salah kemudian kita anggap kesalahannya salah berikutnya," tambahnya.

Tito lalu mencontohkan anak buahnya di Densus yang pernah menembak orang dan pernah masuk penjara. Tapi kemudian setelah dipicu, justru peristiwa masa lalu itu memacu dia untuk memperbaiki dirinya dan ber­hasil.

"Kode etik sudah dijalankan, dan dia kembali jadi kertas putih lagi dan kemudian bisa membuktikan kinerjanya makin membaik. Saya kira itu tidak ada salahnya," ujarnya. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA