"Bagaimana (bisa) sebuah perjanjian kesepakatan perdata, lalu dipidanakan, hanya karena ada klaim kelemahan dari salah satu pihak yang membuat kesepakatan?" kata pakar hukum tatanegara, Margarito Kamis, di Jakarta, Jumat (11/3), terkait penyidikan kasus tersebut oleh Kejagung.
Doktor hukum tata negara lulusan Universitas Indonesia (UI) itu menjelaskan, karena perjanjian BOT adalah perjanjian bisnis yang masuk ranah perdata dan jika di kemudian hari ditemukan ada kelemahan atau kekurangan, para pihak yang mengikat perjanjian itu mestinya memperbaiki. Bukan sebaliknya, secara sepihak, membawa masalah itu ke ranah pidana.
"Pada dasarnya dengan menyetujui dan menandatangani perjanjian BOT ini, pemerintah sebenarnya tengah berbisnis, yaitu bisnis kerja sama aset yang dimiliki dengan pihak swasta. Nah, dalam berbisnis, pasti ada potensi untung dan sebaliknya merugi. Jika pemerintah merasa ada kerugian, ya perjanjian itu harus direvisi," katanya.
‎Margarito menyarankan agar para pihak yang telah mengikat perjanjian BOT ini duduk bersama untuk membicarakan isi perjanjian tersebut.
"Solusi terbaik adalah duduk bersama, lalu me-review pasal-pasal perjanjian yang dinilai ada potensi kerugian. Dengan begitu, masalah bisa selesai, bukan ribut dan membawa ke ranah pidana," katanya.
Seperti diberitakan sebelumnya, saat ini Kejagung tengah melakukan penyidikan terhadap dugaan korupsi dalam kerja sama BOT antara HIN dan CKBI-Grand Indonesia. Kejagung menduga telah terjadi kerugian negara dalam kerja sama BOT yang berlangsung hingga 2055 itu. Kejagung juga mempersoalkan mengenai pembangunan dan pengelolaan Menara BCA dan Apartemen Kempinski yang dianggap tidak tercantum dalam perjanjian BOT.
[rus]
BERITA TERKAIT: