"Kami menghormati proses hukum yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung. Namun, kami menganggap perkara ini merupakan domain perdata yang seharusnya tidak serta-merta menjadi perkara pidana. Ada baiknya Kejagung bersikap adil dan proporsional dalam perkara ini," kata kuasa hukum PT GI Juniver Girsang dalam keterangan pers di Jakarta, Senin (7/3).
Juniver menegaskan, GI telah mengeluarkan total investasi Rp 5,5 triliun dalam proyek ini. Angka ini jauh lebih besar dari ketentuan yang tercantum dalam perjanjian BOT yang mensyaratkan nilai investasi penerima hak BOT sekurang-kurangnya Rp 1,2 triliun. "Negara juga mendapatkan pemasukan dari kewajiban pembayaran pajak penghasilan dari pendapatan atas sewa yang perhitungannya adalah 10 % dari total pendapatan GI," ucap dia.
Dia menceritakan, pada tahun 2004, perjanjian BOT ditandatangani para pihak, usia Hotel Indonesia sudah di atas 30 tahun dan belum direnovasi total. Hal ini menyebabkan daya saingnya semakin rendah. Laba pun rendah dan tidak optimal. Jika dilihat dari sisi kinerja keuangan, lanjutnya, selama kurun 1997-2002, Hotel Indonesia-Inna Wisata hanya mendapatkan pemasukan rata-rata Rp 2 miliar setahun. Nah, sejak dilakukan kerja sama BOT itu, Hotel Indonesia Natour mendapatkan penerimaan berupa kompensasi BOT sebesar Rp 134 miliar atau rata-rata Rp 10,3 miliar per tahun.
"Kompensasi ini lebih besar dari nilai manfaat tanah. Apalagi aset atau modal saham HIN tidak dilepaskan, dan HIN akan memperoleh kembali obyek BOT pada akhir masa kerja sama dalam kondisi layak operasional," paparnya.
Juniver juga meluruskan adanya tuduhan GI melakukan penjualan unit apartemen Kempinski dengan sistem strata-title. Dia menegaskan bahwa GI melakukan penjualan unit Apartemen Kempinski dengan sistem sewa jangka panjang selama 30 tahun. Pada tahun 2010, GI menyanggupi untuk melaksanakan opsi perpanjangan dengan membayar Rp 400 miliar secara tunai kepada Hotel Indonesia. Menurutnya, angka itu sudah di atas 25 persen dari NJOP tanah tahun 2010 yang sebesar Rp 385 miliar. Mengenai opsi perpanjangan itu juga dilakukan berdasarkan perjanjian BOT.
"Dengan demikian, GI selaku penerima BOT justru telah bertindak sebagai mitra strategis yang berperan serta dalam pelestarian kawasan Hotel Indonesia sebagai cagar budaya dan landmark Jakarta. Proyek pembangunan dan pengelolaan kawasan ini juga menyerap tenaga kerja yang jumlahnya mencapai 10 ribu orang," katanya.
Juniver juga membantah terjadinya tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara dalam pelaksanaan BOT. Menurut dia, kerja sama yang dimulai pada 2004 itu telah melalui serangkaian proses formal yang sah dan transparan, serta dituangkan dalam perjanjian BOT yang ditandatangani oleh para pihak.
"Tudingan bahwa pelaksanaan BOT ini merugikan negara Rp 1,2 triliun akibat pembangunan Menara BCA dan Apartemen Kempinski tidak benar. Justru, HIN diuntungkan secara komersial karena tidak kehilangan kompensasi yang lebih besar dengan adanya dua bangunan tersebut," tegas dia.
Ditegaskan Juniver, HIN juga diuntungkan karena nilai bangunan yang diserahkan pada akhir masa BOT nanti (tahun 2055) akan jauh lebih besar dari nilai seharusnya. Tanpa menambah masa konsesi penerima hak BOT dan tidak mengurangi besarnya kompensasi tahunan yang diterima HIN. "Kerja sama ini justru merupakan wujud kemitraan strategis antara BUMN dan swasta yang didasari oleh itikad baik dan tidak merugikan keuangan negara," terangnya.
Juniver menjelaskan, setelah dilakukan proses tender yang terbuka dan transparan pada 2004, diterbitkanlah persetujuan dari Menteri BUMN (saat itu) Laksamana Sukardi melalui Surat Nomor. S-247/MBU/2004 tanggal 11 Mei 2004 beserta lampirannya, perihal Persetujuan Perjanjian Kerjasama antara PT. HIN dan CKBI. Surat persetujuan inilah yang menjadi dasar bagi perjanjian BOT.
Dia melanjutkan, pengalihan pemegang BOT dari CKBI ke Grand Indonesia pun tidak dilakukan secara sepihak, karena merujuk pada surat persetujuan Menteri BUMN dan perjanjian BOT itu sendiri. "Dalam perjanjian BOT disebutkan bahwa penerima hak BOT adalah Grand Indonesia dan/atau pihak-pihak lain yang ditunjuk secara tertulis oleh Grand Indonesia dan/atau penerusnya yang telah disetujui oleh HIN baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri," kata Juniver.
Terkait pembangunan gedung perkantoran Menara BCA dan apartemen Kempinski yang dianggap melanggar hukum karena tidak tercantum dalam perjanjian dan berpotensi merugikan keuangan negara, Juniver menjelaskan, anggapan itu keliru. Pasalnya, gedung perkantoran dan apartemen itu termasuk dalam kategori bangunan-bangunan lainnya seperti tercantum dalam perjanjian BOT itu sendiri.
"Dalam perjanjian itu disebutkan bahwa gedung dan fasilitas penunjang adalah bangunan-bangunan dan segala fasilitas pendukung yang wajib dibangun dan/atau direnovasi penerima hak BOT di atas tanah, yaitu antara lain, pusat perbelanjaan, hotel, dan bangunan-bangunan lainnya, berikut fasilitas parkir serta fasilitas penunjang lainnya," papar Juniver.
Juniver juga menegaskan, sampai saat ini, Grand Indonesia tidak pernah menjaminkan sertifikat Hak Pengelolaan (HPL) atas nama HIN ke lembaga keuangan manapun untuk memperoleh pendanaan, karena sertifikat HPL itu berada dalam penguasaan HIN. "Yang dapat dijaminkan oleh Grand Indonesia adalah sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) atas nama Grand Indonesia dan itu diperbolehkan dalam perjanjian BOT," tukasnya.
[rus]
BERITA TERKAIT: