Pasalnya dalam waktu yang cukup lama terjadi perampokan uang negara sistematis yang mengakibatkan mengalami kerugian cukup besar dengan angka fantastis melebihi skandal Bank Century. Kerugian negara dalam skandal JICT antara Rp 20 triliun hingga Rp 30 triliun sedangkan dalam skandal Bank Century kerugian negara Rp 6,7 Triliun.
"Perpanjangan kontrak JICT yang diberikan Pelindo II kepada HPH merupakan skandal besar. Kita sudah memiliki bukti-bukti. Dan saya sudah mempelajari bukti-bukti tersebut dibantu para ahli ekonomi," ujar anggota Pansus Pelindo II Sukur Nababan kepada wartawan, Minggu (22/11).
Berjibun keganjilan yang ditemukan Pansus, terutama saat kontrak pertama dilaksanakan yakni periode 1999-2019. Menurut Sukur, dalam kontrak pertama, Pelindo menetapkan HPH, perusahaan milik Taipan Hong Kong Li Ka-shing menjadi operator JICT . Di sini Pelindo II berhak atas royalti sebesar 15 persen dari pendapatan. Sedangkan HPH berhak atas technical knowhow sebesar 14,08 persen dikalikan laba setelah dikurangi pajak.
"Sedangkan komposisi saham pada kontrak pertama Pelindo 48,9 persen, HPH 51 persen dan koperasi pegawai maritim sebesar 0,1 persen," beber Sukur yang juga ketua DPP PDI Perjuangan.
Kejanggalan yang ditemukan. Sembari menunggu masa kontrak habis, Direktur Utama Pelindo II RJ Lino malah meneerpanjangan kontrak HPH pada 2014. Padahal, kontraknya baru rampung pada 2019.
"Kami menemukan sejumlah kesepakatan baru yang mengundang kecurigaan. Sebab pada kontrak pertama dipakai sistem royalti. Namun anehnua pada kontrak kedua diubah menjadi sistem sewa untuk Pelindo II senilai 85 juta dolar pertahun," ungkapnya.
Malah, jatah HPH atas technical knowhow 14,08 persen dari laba bersih dihapus. Dan, komposisi andil di JICT bergeser. Di mana Pelindo II berhak atas 51 persen saham dan HPH 49 persen.
Menurut dia, keberhasilan yang digembar-gembor RJ Lino bahwa Pelindo II sudah memberikan kontribusi ke pemerintah berupa hasil keuntungan, hanya kebohongan belaka. Sukur menegaskan disetujuinya kontrak kedua yang merubah sistem royalti menjadi sewa, justru tidak seperti yang digembar-gemborkan Lino. Dari hasil analisa mendalam yang dilakukan Sukur justru negara dirugikan, bukan untung. Ironisnya lagi, Pelindo II memberikan saham JICT sebesar 49 persen kepada HPH selama 20 tahun, karena bakal habis kontrak pada 2038.
"Hitung-hitungan kita, potensi kerugian negara sangat besar dari kontak kedua. Nilainya sangat fantastis mencapai 3p 20 Triliun hingga Rp 30 Triliun," ujarnya.
Lebih parah lagi, banyak UU yang seenaknya ditabrak. Seperti pasal 344 ayat 22 Undang-Undang 17/2008 tentang Pelayaran. Dalam beleid ini menyatakan, bahwa setiap kerja sama atau kontrak bisnis harus mendapat persetujuan (konsesi) dari otoritas pelabuhan.
Perlu diketahui, sebelum adanya Undang-Undang Pelayaran, Pelindo II menjadi pengendali penuh atas pelabuhan. Artinya, kontrak JICT pertama, sepenuhnya di tangan Pelindo II. Namun, sejak berlakunya Undang-Undang tentang Pelayaran, wewenang untuk kerja sama bisnis ini dipecah dua. Selain Pelindo II selaku operator pelabuhan, juga ada wewenang Kementerian Perhubungan sebagai regulator perlabuhan.
"Tapi Lino selalu bersuara keras. Bahwa, perpanjangan ini sepenuhnya wewenang korporasi. Padahal, sejak ada UU Pelayaran harus minta persetujuan Kemenhub. Celakanya, itu tidak dilakukan Lino,"kata Sukur.
Selain itu, perpanjangan kontrak JICT jelas melanggar Undang-Undang 17/2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara.
"Nah kesalahan ini tentunya mengarah kepada penanggung jawab BUMN yakni Menteri BUMN Rini Soemarno," tegas Sukur.
[wah]
BERITA TERKAIT: