Ganti Rugi Korban Peradilan Sesat Tidak Layak Lagi

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Sabtu, 03 Oktober 2015, 02:06 WIB
Ganti Rugi Korban Peradilan Sesat Tidak Layak Lagi
net
rmol news logo Pengamat hukum pidana Universitas Trisakti Yenti Garnasih menilai sudah selayaknya pasal 9 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 27/1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana direvisi.

Menurutnya, dalam pasal 9 ayat 1 disebutkan korban peradilan sesat diberi ganti rugi minimal Rp 5 ribu dan maksimal Rp 1 juta. Jika korban mengalami cacat atau meninggal dunia maka negara cukup mengganti maksimal Rp 3 juta. Hal ini sudah tidak relevan mengigat jumlah tersebut sudah tidak layak untuk dijadikan kompensasi dari negara bagi korban yang menguguat proses salah tangkap dan berujung penjara.

"Kalau tahun 1983 mungkin nominalnya besar ya, cuma sekarang ini nominal maksimal Rp 1 juta itu sudah tidak berarti apa-apa," ujar Yenti saat dihubungi Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (2/10).

Dia menambahkan, saat ini masyarakat jarang sekali tahu tentang proses ganti rugi dari negara akibat kesalahan putusan pengadilan, apalagi besaran ganti rugi yang diberikan. Hal ini harus segera direvisi dan disosialisasikan

"Kita tidak bisa nunggu RUU KUHAP, PP ini harus segera diperbahurui. Kalau nunggu RUU KUHAP mau sampai kapan, karena sedikit sekali orang yang melangkah ke sana," tegas Yenti.

Sebelumnya, Ditjen Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM menggelar pertemuan dengan para ahli mengenai PP Nomor 27/1983. Dalam pertemuan, para ahli sepakat bahwa produk hukum tersebut sudah tidak relevan.

Seperti Guru Besar Universitas Sebelas Maret (Unsemar) Solo Prof. Dr. Hartiwiningsih yang menilai pasal 9 ayat 1 tidak sesuai dengan asas persamaan hukum atau semua orang sama dihadapan hakum.

Dalam catatannya, bila negara melalui kekuasaannya dapat menjatuhkan hukuman berupa ganti rugi dalam jumlah besar kepada warganya yang melanggar hukum. Sebaliknya negara sebagai subjek hukum juga sepatutnya dapat dijatuhi hukuman berupa ganti rugi atas perilaku salah dan melawan hukum yang ditujukan kepada warganya.

"Oleh karena itu jumlah ganti kerugian yang selayaknya diberikan kepada negara yang telah melakukan perbuatan melawan hukum terhadap warganya Pasal 95 KUHAP harus menyesuaikan dengan perkembangan perekonomian negara, nilai tukar rupiah, nilai emas dunia sesuai PERMA No. 2 Tahun 2012 tentang penyelesaian batasan tindak pidana ringan dan jumlah denda dalam KUHP, dengan tujuan ada efek jera, negara melalui aparat penegak hukumnya mengutamaan unsur kehati-hatian dalam melaksanakan tugasnya," jelas Hartiwiningsih.

Senada dengan Guru besar UNS, Guru Besar Universitas Diponegoro (Undip) Prof. Adji Samekto juga menilai besaran nilai ganti rugi tersebut juga tidak sesuai dengan hak asasi manusia, ketentuan ganti rugi yang begitu kecil tidak mencerminkan pemenuhan rasa keadilan secara kontekstual.

Menurutnya, aturan hukum harus memenuhi rasa keadilan dan pasal 9 ayat 1 sudah tidak mencerminkan keadilan dalam konsepsi keadilan distributiive.

"Jadi, berapapun nilai kompensasi atau ganti rugi tidak akan pernah mampu membayar kerugian dan nilai kebebasan yang melekat pada setiap manusia secara kodrati. Apalagi kalau jumlahnya seperti yang tertera dalam pasal 9 ayat 1 PP Nomor 27/1983 tersebut," tambah Adji. [wah]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA