Istana: Putusan MK Jangan Persulit Penegakan Hukum

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Rabu, 23 September 2015, 21:45 WIB
Istana: Putusan MK Jangan Persulit Penegakan Hukum
rmol news logo Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki mengapresiasi putusan Mahkamah Konstitusi soal perlunya izin Presiden RI bagi penegak hukum memeriksa anggota dewan yang diduga terlibat pidana.

"Ya, itu kan putusan MK ya. Putusan MK itu kan memang layak untuk dipertimbangkan oleh presiden," katanya usai melawat ke rumah duka Adnan Buyung Nasution di Jalan Poncol Lestari Nomor 7, Lebak Bulus, Jakarta (Rabu, 23/9).

Meski demikian, Teten mewanti-wanti kewajiban memperoleh izin presiden justru menghambat upaya penegakan hukum.

"Tetapi jangan sampai nanti proses permintaan izin kepada presiden ini mempersulit proses hukum. Ini yang saya kira mungkin nanti dalam penerapan putusn MK ini yang harus hati-hati," jelasnya.

Teten memastikan bahwa Presiden Joko Widodo sangat mendukung upaya pemberantasan korupsi. Sehingga, jangan sampai putusan MK tersebut kemudian membuat penegakan hukum menjadi sulit.

"Saya kira di depan hukum semua orang harus diperlakukan sama," tegasnya.

Selasa kemarin, Mahkamah Konstitusi memutuskan penegak hukum jika ingin memeriksa anggota DPR harus mendapat izin presiden. Dengan begitu, tak berlaku lagi aturan yang menyebut pemberian izin dapat memeriksa berasal dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).

Putusan ini bertentangan dengan yang dimohonkan para pemohon, yang menginginkan aturan dalam pemeriksaan anggota DPR tidak perlu mendapatkan izin MKD.

Mahkamah menilai, pemberian izin pemanggilan anggota dewan dari MKD tidak tepat. Mengingat, MKD adalah bagian dari alat kelengkapan dewan dan tidak berhubungan langsung dengan sistem peradilan pidana.

Mahkamah juga berpendapat, pemberian izin dari MKD akan sarat kepentingan. Sebab, anggota MKD merupakan bagian dari anggota dewan itu sendiri.

Tidak hanya anggota DPR, MK dalam putusannya juga memberlakukan hal tersebut terhadap anggota MPR dan DPD.

Sementara itu, pemanggilan anggota DPRD provinsi yang diduga berkaitan dengan proses hukum harus mendapat persetujuan dari mendagri. Adapun anggota DPRD kabupaten harus mendapat izin gubernur.

Dengan begitu, frasa persetujuan tertulis pada Pasal 245 ayat 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum sepanjang tidak dimaknai persetujuan presiden.

Pasal 245 ayat 1 selengkapnya menjadi pemanggilan dan permintaan keterangan tertulis untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari presiden.

Mahkamah juga memutuskan frasa persetujuan tertulis pada Pasal 224 ayat 5 Undang-Undang Nomor 17/2014 tentang MD3 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum sepanjang tidak dimaknai persetujuan presiden.

Sebelumnya, pasal 224 ayat 5 berbunyi, pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana sehubungan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat 1, 2, 3, dan 4 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari MKD.[dem]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA