"Ahok bilang anggaran pembelian UPS siluman karena anggarannya masuk di APBDP DKI 2014 ditambahkan Komisi E DPRD, bukan atas usulan dinas pendidikan sebagai SKPD/UKPD terkait. Nah di kasus RSSW justru Ahok yang jadi silumannya," kata dia saat berbincang dengan
Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (30/8).
Usulan anggaran pembelian tanah RSSW bukan atas inisiatif dinas kesehatan melainkan dari Ahok yang ketika itu menjabat sebagai Plt Gubernur. Inisiatif Ahok, kata Sugiyanto, nampak dari disposisi yang dibuat Ahok tertanggal 8 Juli 2014 ke Bapeda. Isi surat disposisi intinya memerintahkan agar Bapeda menganggarkan dana Rp 755,7 miliar di dalam APDBP 2014. Total duit yang diminta Ahok sesuai harga jual tanah seluas 3,64 hektar di Kiai Tapa yang disampaikan pemiliknya, Yayasan Kesehatan Sumber Waras (YKSW) kepada Ahok.
"Tidak bisa ujug-ujug begitu. Ini tidak sesuai Permendagri No 13/2006 tentang penyusunan APBDP. Penganggaran harusnya disetujui oleh kepala daerah setelah melalui proses pembahasan oleh tim anggaran pemerintah daerah berdasarkan data RKA (Rencana Kerja Anggaran) dan DPPA (Dokumen Pelaksanaan Perubahan Anggaran) yang telah disusun dan diusulkan terlebih dahulu oleh SKPD. Setelah itu baru diusulkan ke Bapeda," papar Sugiyanto yang juga ketua umum Koalisi Rakyat Pemerhati Jakarta Baru (Katar).
Sebelum disposisi dikeluarkan, pada 6 Juni 2014 Ahok selaku Plt Gubernur bertemu dengan pihak YKSW. Pada tanggal 27 Juni 2014, menurut Sugiyanto yang melaporkan kasus ini ke KPK dengan bahan kajian atas hasil laporan keuangan Pemprov DKI oleh BPK RI, pihak YKSW mengirim surat ke Ahok memberitahu bahwa tanahnya akan dijual.
Surat ini dikirim sepertinya sebagai bantahan atas surat tanggal 14 Juni 2014 yang dikirim Dinkes kepada Ahok. Dalam suratnya Dinkes menjelaskan bahwa tanah tidak dijual karena masih terikat perjanjian jual beli dengan pihak PT Ciputra Karya Unggul (CKU). Sebagai tanda jadi pihak CKU sudah membayar DP sebesar Rp 50 miliar ke pihak YKSW.
Di dalam Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (APPJB), kedua belah pihak sepakat tanah dijual belikan jika izin peruntukan tanah dapat diubah dari suka sarana kesehatan menjadi areal komersial atau wisma susun karena pihak CKU rencananya akan mendirikan mall dan hotel di atas tanah tersebut. Selama APPJB berlaku hingga Desember 2014, maka pihak YKS tidak berhak menjual atau memperjanjikan tanah tersebut kepada pihak lain.
Tetapi pihak YKSW kemudian mengirim surat kepada Ahok tanggal 7 Juli 2014 yang intinya tanah di Kiai Tapa akan dijual dengan harga permeter Rp 20,755 juta, dengan total harga kurang lebih senilai Rp 755,7 miliar. Peran 'siluman' Ahok tambah kentara karena tanah dibayar tidak melalui proses tawar menawar. Sementara kepada CKU pihak YKSW hanya menawarkan harga Rp 15,5 juta permeternya, atau total harga jual senilai Rp 564,3 miliar.
Belum lagi, letak tanah milik YKSW tersebut bukan di Kiai Tapa, Grogol tapi di Tomang dengan zona nilai tanah ketika itu seharga Rp 7,4 juta.
"Jadi, disposisi Ahok bermula dari pertemuan dirinya sebagai Plt gubernur dengan YKSW. Pertemuan ini aneh karena biasanya dalam proses pembelian lahan cukup melalui dinas. Di dalam prosesnya Ahok juga tidak menggubris hasil kajian Dinkes bahwa lokasi tanah tidak dijual," imbuh dia.
"Kalau Ahok laporkan kasus UPS karena ada silumannya, makanya saya laporkan kasus RSSW yang juga ada silumannya ke KPK," demikian Sugiyanto yang melaporkan kasus ini ke KPK pada 27 Agustus kemarin.
[dem]
BERITA TERKAIT: