"OJK harusnya segara mengambil tindakan terhadap permasalahan yang jelas-jelas berada di dalam ranah otoriternya, bukan hanya berdiam diri," ujar pengamat ekonomi politik dari Center of Budget Analysis, Ucok Sky Khadafi kepada wartawan, Selasa (25/8).
‎Dia mempertanyakan penggeledahan yang dilakukan Kejagung, apalagi penggeledahan tersebut salah alamat.‎
"Dalam sejarahnya Kejagung jarang melakukan penggeledahan, tetapi sekarang tanpa kordinasi dengan otoritas terkait lalu menggeledah, ini mengejutkan publik. Ada apa dengan Kejagung yang melangkahi OJK. Jangan sampai ini jadi abuse of power," katanya.
Menurut dia, Kejagung mestinya tidak sembrono dalam penegakan hukum yang mereka lakukan.
‎"Harus kirim surat, bertanya dimana kesalahan permasalahan ini, berkordinasi, karena OJK juga kan punya hak penyidikan. Jangan sampai ada abuse of power dari penegak hukum dalam hal ini Kejagung," ungkap dia.
‎Perkara yang diklaim Kejagung merugikan negara miliaran rupiah ini bermula saat PT Adyaesta Ciptatama meminjam sekitar Rp 266 miliar ke BTN untuk membangun perumahan di Karawang seluas 1.200 hektare sekitar akhir tahun 1990. Saat Indonesia memasuki krisis moneter 1998, pemerintah memasukan BTN ke BPPN untuk diselamatkan.‎
Sejumlah kredit macet kemudian dilelang, termasuk utang Adyaesta. VSIC membeli aset itu dengan harga Rp32 miliar. Seiring waktu, pihak Adyaesta ingin menebus aset tersebut, namun, VSIC menyodorkan nilai Rp2,1 triliun atas aset itu. Pasalnya, nilai utang tersebut setelah dikalkulasi dengan jumlah bunga dan denda, saat ini sudah bernilai Rp3,1 triliun.‎
Pada 2013, pihak Adyaesta melalui kuasa hukumnya Jhonson Panjaitan kemudian melaporkan VSIC ke Kejaksaan Tinggi DKI atas tuduhan permainan dalam penentuan nilai aset yang dinilai merugikan negara. Saat ini, kasus tersebut diambil alih oleh Kejaksaan Agung.
[dem]
BERITA TERKAIT: