"Pimpinan suatu lembaga seharusnya diberhentikan sementara ketika menjadi tersangka tindak pidana berat," kata Guru Besar Fakultas Hukum Pidana UGM, Eddy Hiariej saat menjadi saksi ahli dalam sidang uji materi Pasal 32 ayat 2 UU KPK di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Rabu (10/06).
Lebih lanjut Eddy menjelaskan, tidak pidana berat tersebut haruslah dituangkan dalam Pasal 32 ayat 2 UU KPK, sehingga masyarakat mengetahui pelanggaran apa yang bisa mengakibatkan seorang pimpinan KPK diberhentikan.
"Pasal 32 ayat 2 UU KPK tidak diperjelas mengenai tindak pidana, harus dibatalkan. Kecuali ditafsirkan tindak pidana korupsi, terorisme, narkotika dan tindak pidana berat terkait HAM serta ancaman keamanan negara atau yang ancaman hukumannya di atas 10 tahun," urainya.
Sejurus dengan Eddy, pakar hukum tata negara Saldi Isra meminta agar Mahkamah Konstitusi memberikan penafsiran dan batasan baru mengenai alasan pemberhentian sementara pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Saldi menilai ada kelemahan dalam pasal tersebut sehingga perlu ada penafsiran dan batasan makna, waktu dan jenis tindak pidana yang menjadi dasar pimpinan KPK
Saldi menambahkan, pemilahan jenis-jenis tindak pidana kejahatan yang menjadi dasar pemberhentian KPK perlu dilakukan agar pimpinan KPK tidak dengan mudah diancam tindak pidana ringan, atau yang sengaja dibuat untuk melemahkan pimpinan menjadi diberhentikan sementara. Hal ini bisa menjadi celah penggembosan lembaga anti rasuah.
"Bukan membatalkan keberadaan pasal, tapi memberikan penafsiran, batasan makna dan ruang lingkup, waktu dan jenis tindak pidana untuk jadi dasar pemberhentian pimpinan KPK," ujar Saldi saat memberikan keterangan
.[wid]
BERITA TERKAIT: