"Hanya yang belum terungkap yang belum diproses KPK adalah fakta-fakta persidangan di mana pihak-pihak yang menentukan success fee 18 persen itu yang dibebankan kepada terdakwa," ujar Syaiful Ahmad Dinar selaku kuasa hukum Mahfud Suroso di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Rasuna Said, Rabu (1/4).
Dia menjelaskan, kliennya pada mulanya mengembalikan uang sebesar Rp 96 miliar dari sisa anggaran pengerjaan mekanikal elektrik (ME) sebesar Rp 185 miliar melalui seseorang bernama Lisa Lukitawati. Dalam fakta persidangan disebutkan bahwa ada seseorang bernama Widodo Wisnu yang menerima uang, di mana menurut keterangan Lisa bahwa yang menerima uang bukanlah saksi Arief Gundul yang sudah meninggal dunia.
Sisa anggaran tersebut kemudian dibagi-bagikan sebagai fee untuk sejumlah pihak, termasuk mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M. Nazaruddin, mantan ketua umum Anas Urbaningrum, serta mantan Menteri Pemuda dan Olah Raga Andi Mallarangeng.
"Kita berharap KPK memproses semua uang negara yang diterima oleh mereka-mereka itu. Agar penegakan hukum ini bisa berjalan fair. Jangan hanya kepada subkontraktor yang nyata-nyata telah bekerja secara profesional, telah jelas apa yang dikerjakannya," beber Syaiful.
Dia memastikan bahwa kliennya merupakan korban dari skandal korupsi proyek Hambalang. Selaku subkontraktor, Mahfud Suroso hanya menjalankan perintah dari pelaksana proyek.
Yang mana, dalam fakta persidangan sudah diketahui pihak-pihak penerima fee atau imbalan atas pengerjaan proyek itu.
"Tapi, siapa yang memberi proyek ini, yang menentukan success fee 18 persen itu. Ini yang mestinya dijerat. Jangan KPK bermain yang di bawah korban-korbannya," jelas Syaiful.
Saat disinggung siapa pengatur pemberian fee 18 persen dalam proyek Hambalang, Syaiful memastikan ada kekuatan besar yang mengendalikannya. Mengingat, Andi Mallarangeng selaku Menpora kala itu juga sudah dijerat dalam kasus tersebut.
"Di atas menterinya itu mungkin ada lagi. Sebetulnya kalau anda mengikuti fakta persidangan ini mudah terungkap oleh saksi-saksi seperti Arief Gundul, siapa Arief Gundul itu. Kemudian dari keterangan Lisa Lukitawati ada nama Widodo Wisnu yang katanya ada hubungan dengan istana, istana yang dulu ya (rezim SBY)," demikian Syaiful.
Mahfud Suroso sendiri hari ini dijatuhi vonis enam tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta.
Selain itu, hakim menghukum Mahfud dengan kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp 36.818 miliar. Apabila uang pengganti tidak dibayar selama satu bulan setelah berkekuatan hukum tetap maka harta benda dilelang untuk membayar uang pengganti. Kalau harta benda tidak cukup, akan diganti pidana dua tahun.
Vonis lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi yakni pidana penjara 7,5 tahun dan denda Rp 300 juta subsider enam bulan kurungan.
Mahfud Suroso sebagai pimpinan perusahaan subkontraktor yang menggarap mekanikal elektrik (ME) proyek Hambalang didakwa melakukan korupsi. Dari total dana pekerjaan ME sebanyak Rp 185 miliar pada praktiknya hanya Rp 89 miliar yang dipakai. Sisanya, Rp 96 miliar digunakan sebagai fee untuk sejumlah pihak, termasuk mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M. Nazaruddin, mantan ketua umum Anas Urbaningrum, dan mantan Menteri Pemuda dan Olah Raga Andi Mallarangeng.
Selain itu, pada tahun 2012, Mahfud berusaha menutupi laporan keuangan atas pekerjaan ME dengan membuat seolah-olah dalam pelaksanaan pekerjaan mengalami kerugian. Auditor Irfan Nur Andri pun diminta membuat laporan fiktif.
Mahfud juga menyembunyikan pengeluaran senilai Rp 21 miliar ke PT Adhi Karya yang merupakan bagian realisasi fee 18 persen. Modusnya dengan membuat kwitansi seolah-olah pengeluaran tersebut adalah pinjaman dari PT DCL kepada PT Anugerah Indocoal Pratama untuk bisnis pertambangan. Imbalannya, Mahfud memberikan Rp 5 juta kepada Herbertus Eddy Susanto selaku direktur PT Anugerah Indocoal Pratama.
Uang sebesar Rp 2,5 miliar kemudian mengalir ke rekening pribadi Mahfud yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Alhasil, dia menutupinya dengan modus kontrak pekerjaan penyambungan listrik PLN antara Mahfud dan PT Adhi Karya.
Atas perbuatannya Mahfud dijerat pasal 3 UU31/1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20/2001 junto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
[wid]
BERITA TERKAIT: