Hal itu dituangkan Didik dalam nota pembelaan atau pledoi berjudul 'Tugas Tambahan Wajib Itu Telah Menguburkan Semua Impian Saya' yang dibacakan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Rasuna Said, Senin (30/3).
"Pengabdian dan perjuangan panjang saya selama 32 tahun jadi anggota Polri berakhir cukup tragis di tengah upaya saya untuk dapat mengakhiri pengabdian yang paripurna 2017 mendatang," ungkapnya.
Didik mengaku tidak bisa menolak tugas sebagai PPK dalam perkara yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 121 miliar tersebut. Dirinya menyesal menerima tugas itu hingga ditersangkakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seperti atasannya, Kepala Korlantas Irjen Djoko Susilo.
"Tugas dan jabatan pembuat komitmen tidak pernah dipelajari ilmunya selama saya berkarir di kepolisian. Tugas dan jabatan itu baru saya kenal sejak 2009 pada saat saya untuk pertama kalinya menjabat sebagai Wadirlantas Polri dan mendapat perintah wajib melaksanakan dari Dirlantas Polri yang berubah menjadi Kakorlantas Polri saat itu yakni Irjen Djoko Susilo," jelasnya.
Didik menyebut jabatannya sebagai PPK dalam proyek pengadaaan alat Simulator SIM tahun anggaran 2011 adalah tugas tambahan yang membawa petaka dalam hidupnya. Lantaran, PPK tidak tercantum dalam tugas pokok dan fungsi (tupoksi) wakakorlantas.
"Karena tugas-tugas PPK tidak tercantum dalam job desk saya sebagai wadirlantas dan wakakorlantas Polri yang sebelumnya tidak saya lakukan dan kenal sebelumnya selama menjadi anggota Polri. Maka tugas ini saya sebut sebagai tugas tambahan dari tupoksi saya," jelasnya.
Diketahui, Brigjen Didik Purnomo dituntut pidana tujuh tahun penjara dalam perkara korupsi pengadaan simulator SIM di Korlantas yang merugikan keuangan negara Rp 121 miliar.
Jaksa penuntut umum (JPU) pada KPK juga menuntut pencabutan hak-hak tertentu untuk dipilih dalam jabatan publik.
Dalam sidang pembacaan tuntutan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin lalu (16/3), Didik selaku PPK dan wakakorlantas pengadaan simulator SIM tahun 2011 dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut memperkaya diri sendiri dan orang lain sehingga menyebabkan kerugian negara.
Selaku PPK, Didik dinilai tidak menjalankan tugas dan wewenangnya secara benar sehingga terjadi penggelembungan dalam penyusunan harga perkiraan sendiri (HPS) dan membiarkan Direktur PT Citra Mandiri Metalindo Abadi (CMMA) Budi Susanto menyusun spesifikasi teknis.
Didik juga dianggap membiarkan Budi Susanto menyusun skenario dengan menyiapkan beberapa perusahaan dijadikan peserta lelang dengan meminjam namanya.
Perbuatan Didik dikualifikasikan sebagai penyalahgunaan wewenang selain memperkaya orang lain karena Kakorlantas Irjen Djoko Susilo menerima aliran dana sebesar Rp 32 miliar, Budi Susanto sebesar Rp 93,38 miliar, Direktur PT Inovasi Teknologi Indonesia Sukotjo S. Bambang sebesar Rp 3,9 miliar, serta Primkoppol Mabes Polri menerima sebesar Rp 15 miliar dari proyek pengadaan simulator SIM.
Didik sendiri disebut hanya menerima uang Rp 50 juta dari proyek tersebut yang diberikan Sukotjo S. Bambang.
Atas perbuatannya, Didik terbukti melanggar dakwaan primer pasal 2 ayat 1 junto pasal 18 dan dakwaan subsider pasal 3 UU 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
[wid]