Pada dasarnya Kami tetap menghormati putusan ini, meskipun dari lubuk hati dan logika, Kami sangat menyayangkan putusan banding perkara LTE ini. Sebab, sebagaimana yang telah Kami sampaikan, bahwa dalam perkara ini tidak terjadi kerugian Negara,†kata Ahli pidana Universitas Gadjah Mada (UGM), Profesor Eddy OS Hiariej dalam keterangan persnya, Kamis (5/3).
Menurutnya, terlihat jelas bahwa kasus tersebut terbukti tidak adanya unsur utama dari suatu tindak pidana korupsi, yaitu adanya kerugian Negara, memperkaya diri sendiri dan orang lain, apalagi dengan tidak adanya bribery atau suap yang terjadi. Sehingga hal tersebut membingungkan Kami, manakah aspek yang dikatakan sebagai suatu tindak pidana korupsi?†sambung Eddy.
Sekadar catatan, dalam perkara LTE PLTGU Belawan, para tenaga ahli PLN yang dijadikan tersangka adalah mantan General Manager Chris Leo Manggala, ketua panitia lelang Surya Dharma Sinaga, Rodi Cahyawan, dan Muhammad Ali. Selain itu, dua dari pihak swasta, yaitu Direktur Utama PT Nusantara Turbin dan Propulsi Supra Dekanto dan Direktur Utama PT Mapna Indonesia Mohammad Bahalwan.
Pada putusan banding di Pengadilan Tinggi Tipikor Sumatera Utara beberapa hari lalu, Majelis Hakim Tinggi yang diketuai ATH Pudjiwahono menjatuhkan hukuman penjara 8 tahun kepada Rodi Cahyawan, 9 tahun kepada Chris Leo Manggala, 8 tahun untuk M Ali dan 8 tahun untuk Surya Dharma Sinaga. Adapun Supra Dekanto, selaku direktur PT Nusantara Turbine & Propulsi (NTP), dijatuhi hukuman 5 tahun penjara. Vonis tersebut lebih tinggi dibanding vonis di tingkat pertama. Dalam putusan tingkat pertama di PN Tipikor Medan pada Rabu, 1 Oktober 2014, Majelis Hakim memutuskan tenaga ahli PLN yang dijadikan terdakwa dalam perkara peremajaan LTE tersebut tidak terbukti melakukan pelanggaran atas pasal 2 UU Tipikor.
Nah, pandangan Eddy, Majelis hakim seharusnya memutus perkara a quo dengan mengikuti hati nurani dan tidak semata memakai dakwaan jaksa tanpa mempertimbangkan keterangan para saksi dan ahli di persidangan. Putusan ini jelas bisa menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum yang seharusnya dapat diterapkan secara adil atau fair, memberikan kepastian hukum, dan mendatangkan manfaat bagi semua pihak. Namun, putusan tersebut menurut Kami justru mencerminkan hal sebaliknya" urai Eddy.
Ahli hukum Universitas Indonesia sekaligus saksi ahli dalam persidangan, Dr Dian Simatupang juga bilang, putusan majelis hakim banding sangat bertentangan dengan fakta. Putusan itu sangat tidak rasional, tidak sesuai fakta dan prinsip hukum normative dimana kerugian Negara yang nyata dan pasti tidak ada,†katanya.
Kasus LTE PLN, lanjut dia, tidak terdapat unsur yang merugikan negara. â€Kalau memang ada kerugian negara atau negara merasa dirugikan, harusnya tanyakan saja kepada Menteri Keuangan, seberapa banyak keuangan negara dirugikan dalam proyek ini,†imbuh Dian.
Kuasa Hukum PLN Todung Mulya Lubis menyayangkan putusan Majelis Hakim yang lebih memilih dakwaan jaksa sehingga tetap memidanakan terdakwa kendati tidak terbukti melanggar Pasal 2 UU Tipikor dan tidak merugikan negara. "Kami tentunya sangat menyayangkan atas putusan tersebut. Majelis Hakim yang mulia tampaknya memutus perkara ini dengan tidakberdasarkan fakta-fakta dan hati nuraninya," ungkap Todung.
Todung menegaskan, dalam perkara LTE PLN, tidak ada kerugian Negara dan justru terjadi penghematan Negara sebesar Rp 214 miliar. Sebab, realisasi nilai kontrak pengerjaan LTE justru jauh lebih kecil dari HPS kontrak awal. Pada HPS kontrak awal dengan pemenang tender Mapna Co, tertulis sebesar Rp 645 miliar, sementara harga yang tertuang dalam kontrak hanya Rp 431 miliar.
Menurut Todung, putusan hakim ini bisa menjadi kemunduran sistem peradilan di Indonesia. Dengan tidak mengindahkan semua fakta serta keterangan dari para saksi ahli, majelis hakim telah membuat para terdakwa tidak bisa lagi mengabdi kepada negara seperti yang selama ini telah mereka lakukan untuk menghindarkan Sumatera bagian Utara dari krisis listrik dan memberikan pelayanan terbaik untuk ketersediaan listrik di Sumatera Utara. Selain itu, putusan seperti ini sangat berpotensi mengganggu jiwa mereka karena Anda bisa bayangkan bagaimana perasaan Anda bila tidak bersalah tetapi diputus bersalah? Bagaimana masa depan yang bersangkutan dan keluarganya?" tegas Todung.
Todung menambahkan, dampak putusan yang menyatakan terdakwa bersalah kendati dakwaan primer tidak terbukti, adalah akan tumbuhnya budaya takut pada semua karyawan khususnya pengambil keputusan karena takut dikriminalkan. Akibatnya akan membuat perbaikan dan perawatan mesin pembangkit dan transmisi akan terhambat yang pada akhirnya mengurangi pasokan listrik ke masyarakat.
Kami khawatir dampaknya makin panjang, padamnya listrik akan semakin sering terjadi karena kemampuan terpasang yang ada tak akan memadai untuk memenuhi kebutuhan listrik masyarakat,†tandas Todung.
[sam]
BERITA TERKAIT: