Demikian diungkapkan Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane dalam keterangannya sesaat lalu (Rabu, 14/1).
Pemerintah, sambung Neta, juga bisa mendorong dibentuknya tim etik independen untuk mengusut kebenaran dua alat bukti yang dikatakan komisioner KPK telah mereka miliki.
Sehingga penegakan hukum dalam kasus BG benar-benar adil dan bukan atas pesanan pihak-pihak tertentu dalam menjegal BG menjadi Kapolri.
Sebelumnya Neta menilai, status tersangka yang disandangkan KPK kepada Komjen Pol Budi Gunawan tidak lepas dari adanya cakar-cakaran di elit kepolisian, terutama dalam memperebutkan posisi orang nomor satu di lembaga tersebut. Akibatnya, lembaga sebesar Polri dengan gampang diobok-obok. Ironisnya, elit-elit Polri cenderung membiarkan institusi dan para patinya diadudomba dengan rekayasa kasus dan isu rekening gendut.
Kasus BG seperti yang dipaparkan KPK adalah dugaan gratifikasi dan KPK mengaku sudah punya dua alat bukti. Ironisnya, kata Neta, tersangka dalam kasus ini hanya satu, yakni BG. Padahal dalam kasus gratifikasi sedikit dikitnya harus ada dua tersangka, penyuap dan pihak yang disuap. Pertanyaannya, siapa penyuapnya, kenapa tidak diungkap KPK sebagai tersangka.
Dalam hal ini komisioner KPK bisa dikenakan tindak pidana, jika tidak mampu membuktikan tuduhannya. Komisioner KPK bisa dikenakan pasal berlapis KUHP. Yaitu Pasal 317 tentang fitnah, Pasal 318 merekayasa kasus, dan Pasal 220 tentang keterangan palsu. "Untuk itu, KPK harus diaudit, apa alat bukti yang kata KPK mereka miliki. KPK tidak boleh dibiarkan semena-mena dan tanpa kontrol dalam melakukan penegakan hukum," tandas Neta.
[rus]
BERITA TERKAIT: