Pidana tambahan itu adalah pencabutan hak politik terhadap terdakwa Yesaya Sombuk. Sebelumnya, Jaksa pada KPK sudah pernah menuntut pidana tambahan ini kepada terdakwa koruptor lain seperti Luthfi Hasan Ishaaq (eks Presiden PKS) dan Anas Urbaningrum (eks Ketua Umum Partai Demokrat). Namun untuk Anas, majelis hakim menolak mengabulkan tuntutan tambahan itu.
"Menuntut majelis hakim untuk menghukum terdakwa dengan pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu untuk dipilih dalam jabatan publik," kata Jaksa KPK, Haerudin, saat membacakan surat tuntutan Yesaya di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (29/9).
Dalam pemberitaan sebelumnya disebutkan bahwa tuntutan diberikan Jaksa KPK karena menilai Yesaya telah terbukti secara sah dan meyakinkan menerima suap sebesar SGD 100 ribu dari Direktur PT Papua Indah Perkasa, Teddy Renyut.
Maksud pemberian uang suap agar Yesaya memuluskan Proyek Pembangunan Rekonstruksi Talud di Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal. Dalam menjatuhkan tuntutannya, Jaksa mempertimbangkan hal-hal memberatkan. Perbuatan terdakwa dilakukan saat negara giat melakukan pemberantasan korupsi, terdakwa sebagai bupati atau kepala daerah, serta terdakwa dinilai berinisatif meminta uang.
Sementara untuk hal yang meringankan adalah terdakwa belum pernah dhukum, terdakwa terus terang mengakui perbuatannya serta menyesali perbuatannya.
Jaksa menilai bahwa Yesaya terbukti memenuhi dakwaan primer yakni diduga melanggar Pasal 12 huruf a Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.
Baik Yesaya maupun kuasa hukumnya memutuskan untuk melawan tuntutan Jaksa KPK dengan nota pembelaan alias pledoi yang akan dibacakan pada sidang 13 Oktober 2014 mendatang.
[ald]
BERITA TERKAIT: