Untuk diketahui, dalam putusan kasasi yang diketok oleh ketua majelis, Artidjo Alkostar, kedua kontraktor PT CPI ini divonis lima dan enam tahun penjara karena bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam proyek bioremediasi Chevron. Padahal dalam dissenting opinion kasus Ricksy, hakim Agung Leopold Luhut Hutagalung menyatakan bahwa telah terjadi lompatan-lompatan logika yang menyimpang dari asas-asas hukum perdata sebagai acuan dalam memeriksa perkara pidana itu.
"Vonis ini sangat berbahaya karena bisa menjadi yurisprudensi. Ricksy dan Herland atau perusahaannya mestinya digugat dulu oleh PT CPI sebagai pihak yang berkontrak dengan mereka kalau ada masalah. Namun jika ini tidak terjadi maka pembayaran kepada mereka adalah sah sesuai kontrak," ujar pemerhati hukum kontrak production sharing contract (PSC), Najib Ali Gisymar di Jakarta.
PT Green Planet Indonesia (PT GPI) dam PT SGJ mengikuti tender terbuka jasa-jasa pendukung proyek bioremediasi dan berhasil terpilih di antara para peserta tender termasuk mengalahkan perusahaan Edison Effendi, pihak yang menjadi saksi dan ahli di kasus yang menjerat Ricksy dan Herland ini.
Kedua perusahaan ini teken kontrak dengan PT CPI yang merupakan kontraktor pemerintah dan produsen minyak mentah terbesar di Indonesia. Kedua subkontraktor PT CPI ini menjalankan kegiatan dan memperoleh bayaran dari PT CPI untuk pekerjaan bioremediasi yang sudah selesai sesuai kontrak. Alih-alih dapat untung dan menang tender lagi di tahun 2011, tiba-tiba mereka dituduh korupsi oleh Kejaksaan Agung karena proyek yang telah dijalankan sejak tahun 2006 ini dianggap fiktif. Tuduhan proyek fiktif ini didasarkan pada keterangan Edison Effendi yang juga pesaing bisnis mereka.
Menurut Najib, apabila proyek bioremediasi dibantu oleh subkontraktor lalu digugat oleh pemerintah dengan alasan apapun, maka sesuai dengan prinsip kontrak, pemerintah hanya boleh menggugat PT CPI saja sebagai pihak yang berkontrak.
"Sekali lagi, kalau PT CPI tidak pernah mengeluh atau menggugat soal pekerjaan kedua subkontraktor ini dan kenyataan bahwa uang PT CPI-lah yang dipakai bukan dari APBN, maka dakwaan korupsi terhadap kedua terpidana ini keliru," imbuhnya.
Implikasi vonis kasasi pada kedua subkontraktor Chevron ini sangat serius, tegas Najib. Ia berpendapat baik jaksa, polisi atau KPK bisa setiap saat menciduk perusahaan subkontraktor atas tuduhan korupsi apabila ada dugaan bahwa perusahaan yang berkontrak dengan pemerintah, BUMN, atau BUMD berpotensi merugikan negara.
"Jika putusan kasasi ini tidak segera dikoreksi misalnya dengan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) maka vonis ini menjadi yurisprudensi baru di mana setiap subkontraktor yang terlibat dalam sebuah kegiatan proyek dengan perusahaan swasta lainnya yang memiliki hubungan kontrak dengan pemerintah, BUMN atau BUMD bisa diancam pidana korupsi meskipun subkontraktor tadi dianggap telah mengerjakan tugas dan dibayar sesuai kontrak," lanjut Najib.
Demi keamanan dan kelangsungan hidup perusahaan, Najib pun menyarankan agar para subkontraktor untuk menolak pekerjaan di bidang bioremediasi atau sejenisnya atau tidak perlu ikut tendernya.
"Biarkan masalah limbah menjadi urusan pemerintah dan hakim agung," tutup Najib.
[wid]
BERITA TERKAIT: