Dalam laporan terbaru, ekonomi Thailand tumbuh 2,8 persen pada kuartal II 2025, sedikit lebih baik dari perkiraan (2,7 persen). Namun angka ini melambat dibanding kuartal pertama yang tumbuh 3,2 persen.
Menurut NESDC, ekspor masih menjadi penyokong utama perekonomian. Sebaliknya, konsumsi dalam negeri dan pariwisata sedang lesu. Jumlah turis asal China misalnya, diperkirakan hanya 4 juta orang tahun ini, jauh dari target 6 juta.
Tarif AS membuat Thailand rawan kalah bersaing dengan negara tetangga. Produk yang paling rentan kehilangan pasar adalah telepon, hard disk drive, dan suku cadang mobil. Namun, Thailand diperkirakan tetap kuat mengekspor beras, karet, dan sepeda motor.
Selain tekanan global, Thailand juga menghadapi masalah politik dalam negeri serta bentrokan kecil di perbatasan Kamboja. Namun NESDC menilai dampaknya terhadap ekonomi tidak terlalu besar.
“Tarif AS adalah tantangan terbesar bagi ekonomi Thailand. Reformasi struktural sangat dibutuhkan, meski hasilnya tidak instan,” kata Kepala NESDC, Danucha Pichayanan, dikutip Bangkok Post.
Untuk menopang pertumbuhan, Bank Sentral Thailand sudah memangkas suku bunga acuan empat kali sejak Oktober 2024. Meski begitu, proyeksi pertumbuhan ekonomi 2025 hanya sekitar 1,8–2,3 persen.
BERITA TERKAIT: