Pencalonan ini menimbulkan kekhawatiran serius di kalangan diplomatik, baik di Malaysia maupun Australia, terutama karena riwayat pernyataan Adams yang dianggap Islamofobia dan misoginis.
Nick Adams, 40 tahun, dikenal luas sebagai loyalis Trump dan pengisi tetap program-program konservatif seperti Fox News. Ia kerap membuat pernyataan provokatif di media sosial, termasuk komentar yang dinilai menghina Islam dan merendahkan perempuan.
"Pemerintah harus menolak penunjukan ini. Akan memalukan baginya jika ada suara publik yang menentangnya," tegas Saifuddin Abdullah, anggota parlemen oposisi Malaysia sekaligus mantan menteri luar negeri, seperti dimuat
Nikkei Asia pada Selasa, 15 Juli 2025.
Adams akan menggantikan Edgard Kagan, diplomat karier yang ditunjuk oleh Presiden Joe Biden dan telah bertugas di Kuala Lumpur selama lebih dari setahun.
Beberapa pengamat melihat sisi strategis dari penunjukan ini, mengingat kedekatan Adams dengan Presiden Trump.
"Malaysia sebaiknya tidak menolaknya, itu akan membuat Malaysia bersikap defensif dan mempersulit hubungan dengan AS," ujar Ilango Karuppannan, mantan komisaris tinggi Malaysia untuk Singapura.
"Kedekatannya dengan Trump bisa menjadi aset, jalur langsung ke presiden, tetapi Malaysia perlu mengelola ini dengan hati-hati, tanpa terlihat beroposisi di depan umum," tambah Karuppannan.
Adams bukan sosok asing bagi kontroversi. Ia pernah menjadi wakil wali kota termuda di Australia pada usia 19 tahun, dan menjadi berita utama karena usulan-usulan nyentriknya, seperti pengujian DNA kotoran anjing untuk menangkap pemilik yang lalai, serta pemusnahan merpati guna mencegah flu burung.
"Dia tidak banyak berkontribusi. Dia sangat berhaluan kanan, dia seorang eksibisionis. Saya tidak terkejut ketika dia bergabung dengan kelompok sayap kanan di Amerika," ujar Lucille McKenna, mantan wali kota Ashfield, Sydney.
Adams pindah ke AS pada 2012, menjadi warga negara pada 2021, dan karier politik medianya melesat setelah Trump memuji bukunya pada 2017. Ia kini rutin tampil di media konservatif dan menyebut dirinya sebagai penulis favorit Presiden Trump.
Setelah pencalonannya diumumkan, Adams mengunggah video yang menyebutnya sebagai kehormatan dan mengungkapkan antusiasmenya menjelajahi budaya luhur Malaysia.
Namun, sikap publik Malaysia terhadap Adams tampaknya masih penuh skeptisisme. Shakila Yacob, profesor di Jeffrey Cheah Institute, Sunway University, melihat peluang dalam penunjukan ini jika Adams mampu beradaptasi.
"Malaysia menawarkan kesempatan bagi Adams untuk belajar tentang Islam di masyarakat modern yang multikultural," ujarnya.
Namun tantangan utama tetap yakni bagaimana Adams menghadapi pandangan publik Malaysia yang mayoritas Muslim dan sangat menjunjung tinggi nilai-nilai sopan santun serta penghormatan antaragama.
BERITA TERKAIT: