Meskipun wilayah ini tidak asing dengan aktivitas seismik karena lokasinya di zona tektonik aktif, bencana ini telah memicu kembali perdebatan tentang peran aktivitas manusia dalam memperburuk kerentanan geologis.
Shigatse, wilayah yang terkenal dengan warisan budayanya yang kaya dan kedekatannya dengan Gunung Everest, terkena dampak yang parah. Seluruh desa hancur menjadi puing-puing, infrastruktur penting seperti jalan dan jembatan hancur, dan ribuan orang mengungsi.
Medan yang sulit dan suhu musim dingin yang sangat dingin menghambat upaya penyelamatan, sehingga sulit untuk memberikan bantuan tepat waktu kepada mereka yang membutuhkan. Dampak gempa bumi melampaui kerugian manusia dan material yang langsung.
Dampak psikologis yang dialami para penyintas, yang banyak di antaranya telah kehilangan orang terkasih, rumah, dan mata pencaharian, sangat besar. Sekolah, rumah sakit, dan biara—yang merupakan bagian integral dari struktur sosial wilayah tersebut—tidak luput dari dampaknya, yang semakin mempersulit upaya pemulihan.
Tibet terletak di salah satu wilayah dengan aktivitas seismik paling aktif di dunia. Lempeng tektonik India dan Eurasia bertabrakan, menciptakan pegunungan Himalaya yang menjulang tinggi. Gempa bumi merupakan konsekuensi alami dari proses geologi ini, dan getaran sedang hingga parah sering terjadi.
Namun, skala kerusakan dalam peristiwa terkini, termasuk gempa bumi Shigatse, telah menimbulkan pertanyaan tentang apakah aktivitas manusia memperburuk kerentanan alami wilayah tersebut.
Dampak gempa Shigatse yang begitu besar memunculkan kembali perdebatan mengenai agresivitas pembangunan infrastruktur Tiongkok yang menguasai kawasan itu yang dinilai ugal-ugalan.
Selama dua dekade terakhir, pemerintah Tiongkok telah berinvestasi besar dalam pertambangan, pembangunan bendungan, dan pembangunan perkotaan untuk mengeksploitasi sumber daya alam wilayah tersebut dan memperkuat posisi strategisnya.
Meskipun sering disebut-sebut sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi dan modernisasi, proyek-proyek ini secara signifikan merugikan ekosistem Tibet yang rapuh. Tibet kaya akan sumber daya mineral, termasuk emas, tembaga, dan unsur tanah jarang. Operasi penambangan skala besar telah merusak lanskap dan mengganggu ekosistem lokal.
Proses ekstraksi sering kali melibatkan peledakan dan pengeboran, yang menyebabkan ketidakstabilan bumi dan membuatnya lebih rentan terhadap tanah longsor dan gempa bumi. Selain itu, aktivitas penambangan menghasilkan limbah beracun yang mencemari sumber air, yang berdampak pada populasi manusia dan satwa liar.
Tibet merupakan rumah bagi sumber beberapa sungai besar, termasuk Yangtze, Mekong, dan Brahmaputra, yang menjadi sumber penghidupan jutaan orang di hilir.
Selama bertahun-tahun, Tiongkok telah membangun banyak bendungan di wilayah tersebut untuk menghasilkan tenaga air dan menyimpan air. Meskipun bendungan ini berkontribusi pada produksi energi, bendungan ini juga menimbulkan risiko yang signifikan. Beban waduk yang besar dapat meningkatkan tekanan pada garis patahan, yang berpotensi memicu gempa bumi. Kegagalan bendungan selama kejadian seismik dapat menyebabkan banjir besar, yang memperparah kerusakan.
Pihak berwenang Tiongkok di Tibet mengatakan mereka telah mendeteksi masalah, termasuk retakan, di lima dari 14 bendungan pembangkit listrik tenaga air yang telah mereka periksa sejak gempa mengguncang Tibet.
Menurut para pejabat, tiga dari lima bendungan yang terdampak telah dikosongkan.
Proyek-proyek ini sering menggusur masyarakat lokal secara sosial, banyak di antaranya adalah pengembara Tibet yang memiliki ikatan budaya dan spiritual yang kuat dengan tanah tersebut.
Perusakan situs-situs suci dan mata pencaharian tradisional telah memicu kebencian di antara orang-orang Tibet, yang menyebabkan seruan untuk pelestarian lingkungan dan budaya yang lebih besar.
Para ahli telah lama memperingatkan bahwa ekosistem Tibet yang rapuh tidak dapat mempertahankan laju eksploitasi saat ini. Ketinggian wilayah tersebut, tutupan vegetasi yang rendah, dan kondisi cuaca ekstrem membuatnya sangat rentan terhadap degradasi.
Setelah rusak, ekosistem membutuhkan waktu puluhan tahun—bahkan berabad-abad—untuk pulih.
Gempa bumi Shigatse menjadi pengingat nyata tentang keseimbangan yang rapuh antara kekuatan alam dan aktivitas manusia.
BERITA TERKAIT: