Bagi banyak anak muda Tiongkok, memilih untuk tidak menikah menawarkan banyak manfaat. Tetap melajang memberikan kebebasan, yang memungkinkan individu untuk hidup sesuai keinginan mereka tanpa mengkhawatirkan ekspektasi masyarakat. Hal ini juga membawa rasa kebebasan mental dan fisik, karena mereka tidak terbebani oleh tanggung jawab perkawinan.
Finasial Post melaporkan, perekonomian Tiongkok yang lesu, tingkat pengangguran yang tinggi, dan persaingan yang ketat di tempat kerja telah membuat banyak anak muda sulit untuk melihat masa depan yang penuh harapan. Akibatnya, semakin banyak anak muda Tiongkok yang menganut gaya hidup "pemuda Forno", yang berarti tidak berpacaran, tidak menikah, tidak memiliki properti, dan tidak memiliki anak. Generasi ini, yang sering disebut sebagai "Generasi Putus Asa," mencerminkan pergeseran masyarakat yang lebih luas dari struktur keluarga tradisional.
Statistik pernikahan di Tiongkok telah anjlok hingga setengahnya selama dekade terakhir, dengan angka tahun ini diperkirakan menjadi yang terendah dalam 40 tahun. Angka kelahiran terus menurun, dan seruan putus asa "kami adalah generasi terakhir" bergema di antara banyak orang. Biaya pernikahan yang tinggi menjadi penghalang yang signifikan, dengan pengeluaran seperti mahar, perumahan, dan biaya pernikahan yang membuat pernikahan menjadi tidak terjangkau bagi banyak orang.
Beban finansial untuk menikah di Tiongkok sangat tinggi. Harga perumahan mahal, baik bagi penduduk kota maupun pekerja migran pedesaan. Di banyak daerah, terutama daerah pedesaan, mahar mulai dari 100 ribu Yuan (sekitar 14 dolar AS) dan dapat mencapai 300 ribu Yuan (sekitar 41 ribua dolar AS). Pakar hukum menunjukkan bahwa biaya-biaya ini membuat pernikahan menjadi tidak terjangkau bagi banyak orang muda.
Banyak pemuda Tiongkok berbagi cerita tentang kehancuran finansial karena tingginya biaya yang terkait dengan hubungan dan pernikahan. Beberapa orang harus meninggalkan aspirasi bisnis mereka dan menanggung tekanan finansial yang signifikan untuk memenuhi harapan masyarakat ini. Menghindari jebakan utang seperti pinjaman rumah dan pinjaman mobil juga membantu mereka mempertahankan kebebasan finansial, membuat pilihan untuk tetap melajang menjadi lebih menarik.
Laporan terbaru menunjukkan bahwa sekitar 100 juta orang Tiongkok pasca era 1990an memilih untuk tetap melajang. Jumlah total orang lajang di Tiongkok kini telah melampaui 230 juta. Orang-orang muda ini tidak cemas tentang pernikahan atau cinta; mereka cemas tentang uang. Bagi banyak wanita, beban finansial juga merupakan faktor yang signifikan, karena mereka mencari rasa stabilitas dan kepemilikan yang sering kali tidak dapat dicapai tanpa pendapatan yang stabil.
Tingkat pengangguran yang tinggi dan terbatasnya kesempatan kerja di kota-kota kecil dan menengah membuat pernikahan menjadi tidak terjangkau bagi banyak orang. Tradisi Tiongkok menuntut pesta pernikahan, membeli rumah, dan membeli mobil sebagai prasyarat untuk menikah. Harga perumahan di kota-kota tingkat pertama dapat dengan mudah mencapai jutaan, sehingga hampir mustahil bagi tabungan orang-orang muda untuk menutupi biaya rumah.
Model ekonomi Tiongkok telah menyebabkan tingginya harga rumah, mahalnya layanan kesehatan, mahalnya pendidikan, dan tingginya biaya membesarkan anak. Hal ini mengakibatkan banyak anak muda memilih untuk tidak menikah dan menjadi orang tua. Para ahli hukum percaya bahwa model ekonomi ini membuat orang miskin dan terlilit utang, sehingga sulit untuk mencapai kehidupan keluarga yang bahagia. Kualitas hidup dan kebahagiaan masih jauh dari jangkauan banyak orang, karena mereka hampir tidak mampu bertahan hidup, apalagi menghidupi keluarga.
Saat ini, populasi mereka yang berusia cukup untuk menikah berada pada titik terendah dalam sejarah. Spanduk yang mendorong orang untuk memiliki lebih banyak anak, seperti yang mempromosikan memiliki tiga anak untuk menghidupi orang tua yang sudah lanjut usia, tampak tidak masuk akal bagi banyak orang. Di masa lalu, slogan yang digunakan adalah “Keluarga Berencana itu baik” dan “Lebih sedikit kelahiran bermanfaat bagi bangsa selama beberapa generasi”. Sekarang, pesannya telah berubah total.
Keputusan anak muda untuk “berbaring” bukanlah kesalahan mereka, tetapi akibat tekanan masyarakat. Mereka tertekan oleh tiga beban—biaya perumahan, pendidikan, dan layanan kesehatan, bersama dengan mahar yang selangit. Tidak peduli berapa banyak spanduk yang dipasang, jika isu-isu mendasar tetap tidak ditangani, orang-orang akan terus menghindari pernikahan dan menjadi orang tua. Generasi muda Tiongkok menghadapi tantangan ekonomi dan sosial yang signifikan yang telah menyebabkan keengganan yang meluas untuk menikah dan memulai keluarga.
Beban keuangan pernikahan, harga perumahan yang tinggi, dan terbatasnya kesempatan kerja membuat banyak orang muda sulit untuk melihat masa depan yang penuh harapan. Akibatnya, banyak yang memilih hidup melajang, memprioritaskan kebebasan pribadi dan stabilitas keuangan daripada struktur keluarga tradisional. Mengatasi isu-isu ekonomi yang mendasarinya sangat penting untuk membalikkan tren ini dan menciptakan lingkungan yang lebih mendukung bagi orang-orang muda yang mempertimbangkan pernikahan dan menjadi orang tua.
BERITA TERKAIT: