Pasalnya, perjanjian tersebut mencakup klausul aliansi militer yang pernah disepakati di masa Uni Soviet dan memungkinkan kedua negara saling mendukung jika diserang.
Menurut Direktur Eksekutif Global Future Institute, Hendrajit, Pakta Pertahanan Rusia-Korea Utara disinyalir terbentuk sebagai reaksi terhadap persekutuan empat negara yakni Amerika Serikat, Australia, Jepang dan India.
Belum lagi, belakangan kerjasama militer yang lebih dalam tengah dikembangkan oleh AS, Jepang dan Filipina.
Kendati demikian, Hendrajit menilai apa yang disepakati hari Rabu kemarin (19/6) belum sampai pada tahap yang membahayakan, masih pada tataran perang psikologis.
"Dengan Pakta Pertahanan Rusia-Korut, meski saya lihat masih sebatas
Psychological Warfare dan belum menjadi aksi militer bersama," ungkapnya kepada
Kantor Berita Politik RMOL pada Kamis (20/6).
Hendrajit menyebut baik Rusia maupun Korea Utara kemungkinan akan menghindari penggunaan
hard power. Pasalnya sektor-sektor strategis non-militer, seperti ekonomi akan dipaksa berkorban agar dialokasikan untuk Keamanan Nasional.
"Ketika militerisasi dan lomba senjata akan semakin meningkat di Asia Timur dan Asia Tenggara, akan merugikan negara negara berkembang di Asia, yang sedang menggeliat pembangunan ekonominya," jelasnya.
Dikatakan Hendrajit, sejak 2017 Semenanjung Korea telah menjadi hotspot titik didih antara AS-NATO versus China dan Rusia.
Khususnya setelah AS menempatkan sistem pertahanan anti-rudal bermuatan nuklir yang dikenal dengan Terminal High Altitude Aerial Defense (THAAD) di Seoul, Korea Selatan di tahun itu.
Menurut Hendrajit, baik Rusia maupun China sudah paham bahwa sistem pertahanan itu terlalu besar jika ditujukan untuk membendung potensi serangan militer Korea Utara ke Selatan.
"Sebab kalau cuma buat menangkal invasi militer Korut, kekuatan militer konvensional Korsel berikut kehadiran pasukan militer AS kiranya sudah cukup," pungkasnya.
BERITA TERKAIT: