Dalam sebuah pernyataan pada Selasa (30/4), Netanyahu mengatakan bahwa pihaknya tidak akan menunggu hasil gencatan senjata, karena tujuan utamanya adalah menghancurkan Rafah yang diyakini sebagai benteng terakhir Hamas.
“Kami akan memasuki Rafah dan melenyapkan batalion Hamas di sana, dengan atau tanpa kesepakatan, untuk mencapai kemenangan total," tegasnya, seperti dimuat
Associated Press.
Pernyataan Netanyahu muncul beberapa jam sebelum Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Antony Blinken datang ke Yordania untuk memajukan upaya gencatan senjata.
"Tidak ada lagi penundaan. Tidak ada lagi alasan. Sekaranglah waktunya untuk bertindak. Kami ingin melihat perjanjian ini tercapai dalam beberapa hari mendatang," tegas Blinken.
AS telah berulang kali mengatakan pihaknya menentang operasi Rafah sampai Israel memberikan rencana yang kredibel untuk mengevakuasi dan melindungi sekitar 1,5 juta orang yang mencari perlindungan di sana.
Sementara itu, Netanyahu menghadapi tekanan dari mitra pemerintahannya untuk tidak melanjutkan kesepakatan yang mungkin mencegah Israel menginvasi Rafah.
Kepemimpinan Netanyahu bisa terancam jika dia menyetujui kesepakatan tersebut karena anggota kabinet garis keras menuntut serangan terhadap Rafah.
Perang dipicu oleh serangan Hamas yang belum pernah terjadi sebelumnya pada 7 Oktober di wilayah Israel selatan, yang mana sekitar 1.200 orang terbunuh, sebagian besar warga sipil, dan 250 lainnya disandera.
Israel mengatakan para militan masih menyandera sekitar 130 orang.
Perang di Gaza telah menewaskan lebih dari 34.000 warga Palestina, menurut pejabat kesehatan setempat.
Perang ini telah memaksa sekitar 80 persen dari 2,3 juta penduduk Gaza meninggalkan rumah mereka, menyebabkan kehancuran besar di beberapa kota dan mendorong Gaza utara ke jurang kelaparan.
BERITA TERKAIT: