Namun setelah enam bulan berjalan, dan total kematian di Gaza mencapai 33.000 orang, dukungan dari Trump maupun Partai Republik menjadi semakin tidak jelas.
Ini tercermin dari komentar Trump yang cenderung setengah hati saat merespon perkembangan perang Israel di Gaza baru-baru ini.
“Saya tidak yakin apakah saya menyukai cara mereka melakukannya," ujar Trump dalam sebuah wawancara dengan stasiun radio Amerika Serikat, seperti dimuat
AFP pada Minggu (7/4).
Dalam wawancaranya dengan media Israel, Trump bahkan memperingatkan bahwa bom yang dijatuhkan ke gedung-gedung Gaza akan memberikan dampak yang buruk bagi dukungan internasional terhadap Tel Aviv.
"Bom yang dijatuhkan ke gedung-gedung di Gaza memberi gambaran yang sangat buruk bagi dunia. Israel benar-benar kalah dalam perang," kata pria berusia 77 tahun itu kepada
Hugh Hewitt.Trump telah lama membanggakan dirinya karena berbuat lebih banyak untuk Israel dibandingkan presiden AS lainnya.
Pada 2018, Trump membalikkan kebijakan AS selama puluhan tahun dan mengabaikan solusi dua negara dengan secara sepihak mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Trump bahkan memindahkan kedutaan AS ke Yerusalem dari Tel Aviv, sehingga memicu reaksi internasional.
Pada akhir masa jabatan Trump, AS telah menengahi apa yang disebut Kesepakatan Abraham (Abraham Accords), yang memungkinkan Israel untuk mencaplok sebagian besar wilayah Tepi Barat.
Kesepakatan itu mempersempit kepemilikan wilayah Palestina, yang kini hanya tersisa sedikit wilayah Tepi Barat dan sebuah ibu kota di pinggiran Yerusalem.
Trump juga bersemangat untuk mendorong normalisasi hubungan Israel dengan beberapa negara Arab, sehingga konflik Palestina dikesampingkan.
Tidak jelas apakah perubahan sikap Trump dipicu oleh perang di Jalur Gaza, berkorelasi dengan kampanye pemilihannya pada November mendatang.
Tetapi menurut peneliti senior di lembaga pemikir konservatif AEI, Danielle Pletka, retorika Trump baru-baru ini tentang Israel seperti diarahkan oleh konsultan media.
"Tidak ada seorangpun yang sepenuhnya yakin dengan pandangan Trump mengenai hal ini,” ujar Pletka.
Beberapa pengamat menilai sikap Trump yang ambigu ini dapat dijelaskan dengan tingginya pertaruhan pemilu di AS.
Terlebih dia akan kembali melawan Presiden Joe Biden yang kini tengah dikritik keras karena dinilai gagal menghentikan konflik di Israel.
Trump yang biasanya blak-blakan juga menggunakan strategi ambiguitas yang sama dalam isu-isu penting lainnya, termasuk aborsi, karena sadar bahwa mengambil posisi ekstrim di kedua kubu bisa merugikannya dalam pemilu.
BERITA TERKAIT: