Dijelaskan oleh Wakil Tetap RI untuk PBB dan Organisasi Internasional di Jenewa, Duta Besar Febrian A. Ruddyard, Dewan HAM PBB sendiri telah mengadopsi Resolusi 53/1 untuk merespons hal ini.
Resolusi ini diinisiasi oleh Organisasi Kerjasama Islam (OKI), di mana Indonesia merupakan salah satu anggotanya.
Dubes Febrian mengurai, insiden pembakaran Al Quran yang terencana dan terus berulang merupakan bentuk advokasi kebencian berbasis agama yang jelas bertentangan dengan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, khususnya Pasal 20.
"Negara-negara di mana aksi pembakaran Al Quran terus terjadi, khususnya negara-negara di Eropa, tidak memiliki kerangka hukum dan kebijakan yang memadai untuk mencegah ataupun melarang secara hukum tindakan tersebut," jelasnya dalam press briefing pada Selasa (3/10).
Resolusi 53/1 ini, lanjut Dubes Febrian, diharapkan dapat mendorong negara-negara Eropa untuk memperbarui kerangka hukum terkait penyalahgunaan berpendapat dan berekspresi. '
Sejauh ini, Swedia dan Denmark tengah mengevaluasi legislasi nasional agar bisa melarang aksi-aksi penistaan terhadap objek dan simbol agama.
Resolusi ini tidak hanya ditujukan secara eksklusif untuk kebencian terhadap agama Islam, namun berlaku untuk semua jenis kebencian terhadap agama dan penganutnya.
"Jika isu kebencian berbasis agama ini tidak segera di-
address, maka pemenuhan kebebasan beragama atau berkepercayaan para penganut agama, termasuk
religious minorities, akan terancam," terangnya.
Sementara itu, Indonesia sendiri sudah memiliki perangkat hukum untuk mengatur kebencian berbasis agama yang dimuat dalam KUHP baru.
Selain terjadi di Swedia dan Denmark, aksi penistaan Al Quran juga terjadi di Belanda, tepatnya di depan KBRI Den Haag pada bulan lalu.
BERITA TERKAIT: