Bozize, yang menjabat pada 2003, setelah berhasil mengkudeta Presiden Ange-Felix Patasse, dinyatakan bersalah karena telah merusak keamanan internal negara dan pembunuhan.
Mengutip
Anadolu Agency, Sabtu (23/9), Bozize yang kemudian juga digulingkan 10 tahun kemudian oleh pemberontak, dijatuhi hukuman in absentia bersama dua putranya dan 20 terdakwa lainnya, termasuk para pemimpin pemberontak terkemuka.
"Mereka semua juga dihukum karena merusak keamanan internal negara dan pembunuhan," bunyi putusan yang dibacakan oleh Presiden Pertama Pengadilan Banding Bangui, Joachim Pessire.
Keputusan tersebut tidak merinci jangka waktu dan kejahatan yang dilakukan oleh mantan presiden yang bersangkutan. Sejak penggulingannya pada 2013 lalu, konflik terus mencuat di Afrika Tengah, ketika pemberontak Seleka mayoritas Muslim menggulingkan Bozize, yang memicu balasan dari milisi Kristen.
Bozize yang saat ini tinggal di pengasingan di Guinea-Bissau menjabat sebagai koordinator Koalisi Patriot untuk Perubahan (CPC), koalisi pemberontak utama yang beroperasi terutama di wilayah utara Republik Afrika Tengah dan dibentuk pada 2020.
Sejak itu, kekerasan yang dilakukan oleh kelompok bersenjata terus berlanjut, termasuk serangan terhadap pasukan pemerintah yang didukung oleh tentara bayaran dari kelompok keamanan swasta Rusia, Wagner.
Menanggapi keputusan tersebut, wakil ketua partai politik Bozize Kwa NA Kwa (KNK), Bea Bertin, dan pejabat koalisi CPC, mengecam putusan tersebut, yang dianggap sebagai bagian dari manuver pemerintah untuk membungkam oposisi.
“Saya mengecam persidangan ini dan hukuman in absentia terhadap François Bozize dan penentang lainnya. Kekuasaan diktator saat ini menggunakan semua cara legal dan ilegal untuk mencoba melenyapkan semua lawannya,” kata Bertin.
BERITA TERKAIT: