Dalam pernyataannya yang dikutip
AFP pada Senin (3/7), Erdogan menyalahkan kerusuhan di Prancis dengan Islamofobia yang telah menjamur di negara itu sejak zaman dulu.
"Di negara-negara yang terkenal dengan masa kolonial mereka, rasisme budaya telah berubah menjadi rasisme institusional," ujar Erdogan dalam wawancara dengan stasiun televisi.
Menurutnya, akar dari peristiwa itu dimulai dari struktur sosial yang dibangun atas landasan mentalitas negara tersebut, dengan sebagian besar imigran dikutuk untuk tinggal di ghetto, untuk mereka tindas secara sistematis, yang kebanyakan terjadi kepada masyarakat Muslim.
Hal tersebut dilontarkan Erdogan setelah kerusuhan meletus di Prancis atas kematian seorang remaja berusia 17 tahun bernama Nahel Marzouk, keturunan Aljazair-Maroko, yang ditembak mati polisi di Nanterre, pinggiran Paris, awal pekan lalu.
Insiden tersebut telah memicu kemarahan yang meluas dari publik, yang menilai bahwa penembakan itu terjadi karena rasisme yang kerap dilakukan kepolisian Prancis kepada penduduk di pinggiran kota berpenghasilan rendah, terutama etnis minoritas, seperti Nahel.
Pengunjuk rasa yang marah telah membakar ratusan mobil, merusak sejumlah bangunan, dan menjarah toko-toko di beberapa kota.
Menanggapi kerusuhan yang meluas itu, Erdogan juga mengutuk aksi penjarahan yang merajalela di Paris.
Ia menyatakan bahwa jalan-jalan tidak boleh digunakan untuk mencari keadilan. Namun, ia kembali menegaskan bahwa pihak berwenang Prancis juga harus belajar dari ledakan ketegangan sosial yang terjadi di negaranya itu.
BERITA TERKAIT: