Keputusan tersebut diambil setelah sirup obat batuk yang diproduksi negara itu menyebabkan 70 kematian pada anak-anak di Gambia.
"Langkah terbaru yang diambil oleh Gambia bertujuan untuk mengatasi masalah obat-obatan yang tidak memenuhi standar dan produk palsu yang masuk ke negara ini," kata Direktur Eksekutif Badan Pengawasan Obat-obatan (MCA), Markieu Janneh Kaira, dalam suratnya kepada Jenderal Pengawas Obat India, Rajeev Singh Raghuvanshi.
Surat tersebut mengatakan bahwa MCA telah menunjuk Quntrol Laboratories, sebuah perusahaan inspeksi dan pengujian independen untuk obat-obatan yang berbasis di Mumbai, untuk mengeluarkan Laporan Bersih Inspeksi dan Analisis (CRIA) untuk semua pengiriman dari India.
"Quntrol akan melakukan verifikasi dokumen, pemeriksaan fisik kiriman dan pengambilan sampel, untuk pengujian laboratorium pada setiap kiriman," tambahnya dalam surat tersebut.
Menurutnya, jika kesesuaian terpenuhi, Quntrol Laboratories akan mengeluarkan CRIA. Namun, jika ditemukan ketidaksesuaian terkait kualitas produk, pengiriman akan dikarantina atau disita oleh MCA.
Mengutip
Telegraph India, Rabu (21/6), aturan ini merupakan pembatasan ekspor nasional pertama yang dilakukan oleh pemerintah Gambia setelah kejadian yang menggemparkan di negaranya itu.
Aturan tersebut dikabarkan hanya berlaku untuk India, sebagai salah satu produsen farmasi terbesar di negara Afrika itu. Namun sejak 1 Juni lalu, India sendiri telah mewajibkan pengujian untuk semua sirup obat batuk sebelum diekspor, untuk menghindari kejadian pada tahun lalu kembali terulang.
Pada tahun lalu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengungkapkan bahwa sirup obat batuk India mengandung racun mematikan ethylene glycol dan diethylene glycol yang menyebabkan puluhan kematian di Gambia, karena senyawa itu biasanya digunakan dalam cairan rem mobil dan tidak aman untuk dikonsumsi manusia.
BERITA TERKAIT: