Gerakan Babel yang memiliki lima kursi di parlemen mengatakan bahwa larangan yang diberlakukan tidak bersifat demokratis. UU tersebut dinilai telah mengabaikan hak mereka sebagai minoritas yang dibatasi kebebasannya oleh negara.
Selain itu, mereka juga menyebut bahwa larangan tersebut telah bertentangan dari rencana pajak awal pemerintah.
"Itu juga bertentangan dengan keputusan pemerintah, yang (rencananya akan) menetapkan bea sebesar 200 persen untuk semua minuman beralkohol impor selama empat tahun ke depan," kata mereka, seperti dikutip
BBC, Senin (6/3).
UU tersebut awalnya disahkan parlemen pada tahun 2026 dan secara resmi diterapkan oleh pemerintah Irak pada bulan lalu.
Berdasarkan UU tersebut, siapa pun yang menjual, memproduksi, atau mengimpor alkohol di Irak akan dikenakan denda sebesar 25 juta dinar Irak atau Rp 263 juta.
Belum diketahui apakah Irak akan memberlakukan dengan ketat undang-undang itu atau akan membatalkannya.
Namun menurut seorang warga Irak, Sarmad Abbas, larangan itu hanya akan mendorong maraknya penjualan alkohol di pasar-pasar gelap, dan akan mengganggu kebebasan individu dari warga negara yang bukan beragama Islam.
"(Saya) mengakui bahwa ajaran Islam melarang konsumsi alkohol. Tetapi ini adalah kebebasan pribadi yang tidak dapat Anda larang untuk dilakukan oleh warga negara," katanya.
BERITA TERKAIT: