Berdasarkan laporan dari Kantor PBB Urusan Narkoba dan Kejahatan (UNODC) pada Kamis (26/1), pertanian opium di bawah pemerintahan junta Myanmar telah naik hingga 33 persen pada tahun lalu.
Pertumbuhan produksi opium ini terjadi setelah junta melakukan kudeta pada Februari 2021, yang membuat kondisi politik dan ekonomi di negara tersebut tidak stabil.
"Gangguan terhadap ekonomi, keamanan, dan pemerintahan menyusul kudeta militer Februari 2021 membuat para petani di wilayah terpinggir tidak punya pilihan lain selain kembali ke opium," ujar perwakilan UNODC, Jeremy Douglas, seperti dikutip
TRT World.
Data menunjukkan, lahan pertanian opium pada 2022 bertambah luas tiga kali lipat menjadi 40.100 hektare, dengan produksi naik 41 persen menjadi 20 kilogram per hektare. Itu adalah jumlah terbesar sejak UNODC mencatat produksi opium di Myanmar.
Peningkatan produksi opium terbesar tercatat di negara bagian Shan, yang berbatasan dengan China, Thailand, dan Laos, yang mencapai 39 persen.
"Tanpa alternatif dan stabilitas ekonomi, pertanian dan produksi opium akan terus berlanjut dan meluas," begitu peringatan dari Manager UNODC Myanmar, Benedikt Hofmann.
BERITA TERKAIT: