China tampaknya tidak akan melepas negera muslim yang kaya sumber daya itu, meskipun memperoleh ancaman dan serangan dari para pemberontak.
Peneliti di Dewan Kebijakan Luar Negeri Amerika di Washington, Kyle Sajoyan menulis bahwa perjanjian ekstraksi minyak dengan Taliban pada 5 Januari lalu merupakan bukti pengembangan pengaruh China di Afghanistan.
"Perjanjian itu merupakan investasi energi terbesar pertama Taliban sejak pengambilalihannya tahun 2021. Ini juga mewakili kepentingan strategis China yang berkembang di Imarah Islam,†jelasnya dalam publikasi
19fortyfive pada Senin (16/1).
Kyle menyebut, kesepakatan minyak muncul di tengah meningkatnya kekerasan terhadap warga negara China di Afghanistan.
Terlepas dari itu, menurutnya Beijing sepertinya tidak akan pergi dan meninggalkan misi mereka di sana.
"China tidak menunjukkan tanda-tanda akan menghentikan proyek imperium globalnya di dunia Muslim," tegasnya.
Kebijakan China di Afghanistan, justru dinilai Kyle akan membahayakan kepentingan pribadi Barat, terlebih usai kekalahan mereka melawan bangkitnya kekuasaan Taliban.
"Kesepakatan baru-baru ini merupakan awal dari kerja sama ekonomi dan keamanan yang lebih erat antara Kabul dan Beijing, sebuah kemitraan yang akan membahayakan kepentingan pribadi Washington," ungkap Kyle.
Penandatanganan kesepakatan ekstraksi minyak dilakukan di hadapan utusan China untuk Afghanistan Wang Yu, dan pejabat tinggi Taliban lainnya, termasuk Abdul Ghani Baradar, penjabat wakil perdana menteri untuk urusan ekonomi.
Kerjasama itu memungkinkan Taliban memegang saham mulai dari 20 persen dan secara betahap naik menjadi 75 persen sesuai peningkatan hasil.
Taliban berharap kesepakatan tersebut dapat menciptakan 3 ribu lapangan pekerja baru bagi warganya.
Sejak mengambil alih Afghanistan pada Agustus 2021, investasi asing di negara itu hampir tidak ada.
Oleh sebab itu, Taliban mati-matian mengetuk setiap pintu untuk menarik investasi asing ke Afghanistan.
BERITA TERKAIT: