Berbicara selama 30 menit dengan Griffiths, Direktur Politik Kementerian Luar Negeri Israel Aliza Bin-Noun mengungkapkan kekecewaannya, menyebut langkah Pemerintah Anthony Albanese sebagai "keputusan buruk" yang berisiko mendorong para ekstremis untuk lebih beragitasi di wilayah tersebut.
"Ini keputusan menyedihkan yang mengabaikan hubungan mendalam dan abadi antara Israel dan ibu kota bersejarahnya," kata Bin-Noun, seperti dikutip dari
The Jerusalem Post, Rabu (19/10).
"Ini bertentangan dengan hubungan baik antara Israel dan Australia," tambahnya.
Dia juga mengatakan kepada Griffiths bahwa langkah itu akan mendorong elemen-elemen ekstremis di Tepi Barat untuk terus memicu kekerasan dan berisiko membuat kawasan itu tidak stabil di tengah meningkatnya ketegangan dengan Palestina karena kesepakatan perbatasan maritim dengan Lebanon hampir selesai.
Kekecewaan juga datang dari Perdana Menteri Yair Lapid. Ia menyebut keputusan itu sebagai "tanggapan tergesa-gesa terhadap laporan yang salah di media".
"Saya berharap agar pemerintah Australia menangani masalah lain dengan lebih serius dan profesional," katanya.
Pada Selasa (18/10), Australia melalui Menteri Luar Negeri Penny Wong, mengatakan negaranya menarik keputusan pemerintah sebelumnya untuk mengakui Yerusalem Barat sebagai Ibu Kota Israel.
"Pemerintah mengkomitmenkan kembali Australia pada upaya internasional dalam mengejar kemajuan yang bertanggung jawab menuju solusi dua negara yang adil dan bertahan lama,†kata Wong, seperti dikutip dari
AFP.Perdana Menteri Australia sebelumnya, Scott Morrison, mengakui Yerusalem Barat sebagai ibu kota Israel pada 2018, tetapi mengatakan tidak akan segera memindahkan kedutaannya ke sana.
"Keputusan 2018 Morrison menempatkan Australia keluar dari langkah yang diambil mayoritas masyarakat internasional, dan disambut dengan keprihatinan oleh tetangga mayoritas Muslim Indonesia," kata Wong.
BERITA TERKAIT: