Pihak keluarga telah mengajukan keluhan di Pengadilan Badan Regional Afrika Barat, Ecowas, memastikan bahwa pemerintah Liberia harus membayar 'utang' tersebut.
Keluhan keluarga ini mendapat dukungan dari mantan ketua Partai Patriotik Nasional, Cyril Allen. Langkah yang diambil keluarga Taylor sudah tepat. Taylor sudah sepatutnya mendapatkan hak-haknya, karena pemerintah belum menunjukkan itikad baik.
"Ini bukan soal nilai uangnya, tetapi ini soal hak. Ini adalah hukum. Pemerintah harus membayar hak Taylor!" katanya seperti dikutip dari
BBC, Sabtu (30/10).
Ia pun menyarankan agar keluarga dan otoritas terkait melakukan negosiasi.
Saat ini, kondisi perekonomian negara di Afrika Barat itu memburuk, terutama saat ini ketika pandemi menggerus perekonomian negara itu. Namun, negara tetap perlu menghormati hak-hak masyarakatnya, menurutnya.
"Harus ada negosiasi dan diskusi terkait hukum," ujar Allen.
Di bawah hukum Liberia, mantan pejabat tinggi mendapat tunjangan tertentu setiap tahun yang dibayarkan secara berkala.
Seorang anggota tim pembela Taylor mengatakan kepada BBC sebelum keluarga itu menuju ke pengadilan Ecowas bahwa mereka telah memperdebatkan kasus ini di hadapan majelis penuh Mahkamah Agung sebanyak dua kali, yaitu pada 2014 dan 2018, tetapi belum ada keputusan hingga saat ini.
Charles Ghankay Taylor, saat ini berusia 73 tahun, adalah Presiden Liberia ke-22. Sepanjang masa jabatannya ia menghadapi 11 tuntutan, antara lain mendukung pemberontakan dalam perang saudara di Sierra Leone yang berlangsung selama satu dekade. Ia menjalani hukuman
Pengadilan kejahatan perang PBB menjatuhkan vonis 50 tahun penjara terhadapnya. Pengadilan menganggap Taylor terbukti bersalah membantu dan bersekongkol dengan pemberontak Sierra Leone selama perang saudara 1991-2002
.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: