Dalam konferensi mengenai masa depan Uni Eropa di Touquet pada Jumat (16/4) lalu, Barnier menyoroti keresahan dan kemarahan masyarakat Prancis atas tidak terkendalinya arus migran, serta birokrasi dan kerumitan dari blok tersebut.
Politisi Prancis berusia 60 tahun itu telah banyak berkiprah di panggung Eropa. Pada Desember 2016, Komisi Eropa mengangkat Barnier sebagai negosiator utama dari Uni Eropa untuk Brexit.
"Kami dapat menarik beberapa pelajaran dari Brexit untuk diri kami. Sekarang sudah terlambat untuk Inggris, tapi tidak untuk kami," ujarnya, seperti dikutip
Sputnik.
"Kami dapat menemukan, tidak hanya di Inggris, tetapi di sini, di Prancis, di wilayah utara dan timur, warga yang menginginkan untuk meninggalkan Uni Eropa," tambahnya.
Lebih lanjut, Barnier menekankan, Uni Eropa memiliki tanggung jawab untuk memahami alasan Inggris pergi. Uni Eropa juga harus bisa mendengarkan kemarahan dan keresahan warga Inggris, sehingga bisa berubah dan meyakinkan negara anggota lainnya untuk bertahan.
Pada 2018, Presiden Emmanuel Macron mengatakan, orang Prancis mungkin akan memilih untuk memisahkan diri dari Uni Eropa jika mereka mengadakan analogi referendum Brexit, yaitu Frexit.
"Anda selalu mengambil risiko ketika Anda memiliki referendum (mirip Brexit), hanya 'ya' dan 'tidak' dalam aspek yang sangat rumit," ujarnya.
Inggris secara resmi menarik diri dari Uni Eropa pada 31 Januari 2020. Setelah itu, Inggris memasuki periode transisi hampir setahun yang diakhiri dengan pihak-pihak yang menandatangani kesepakatan perdagangan pasca-Brexit setelah pembicaraan intensif selama berbulan-bulan dan tenggat waktu yang tertunda.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.