Pada 2020, ribuan orang Iran juga kehilangan nyawa karena pandemi virus corona dan beberapa peristiwa sosial. Selain itu, krisis politik juga semakin meningkatkan isolasi internasional terhadap Iran.
Diawali kematian Soleimani, itu adalah peristiwa paling mengejutkan tahun ini bagi Iran. Pembunuhan Jenderal Iran Qasem Soleimani pada bulan Januari, telah meluluhlantakan hati semua warga Iran.
Soleimani tewas bersama Abu Mahdi al-Muhandis, wakil pemimpin milisi Hashd al-Shaabi Irak atau Pasukan Mobilisasi Populer (PMF) dalam serangan udara drone AS di luar Bandara Internasional Baghdad pada 3 Januari tahun ini, seperti dikutip dari
Anadolu Agency, Selasa (29/12).
Soleimani, yang disebut 'martir yang hidup' oleh Pemimpin Tertinggi Iran Ali Khamenei, adalah orang kunci dalam menentukan kebijakan regional Teheran.
Pasca kematian sang jenderal, tepatnya pada 5 Januari, Iran mengumumkan bahwa mereka tidak akan lagi memenuhi komitmen apa pun di bawah kesepakatan nuklir 2015 yang ditandatangani dengan kekuatan dunia.
Pada 7 Januari, setidaknya 56 pelayat tewas dan 213 lainnya terluka dalam penyerbuan selama pemakaman Soleimani di Iran.
Sehari setelahnya, tepatnya pada 8 Januari, Iran menargetkan pangkalan udara Ain al-Asad yang menampung pasukan AS dan koalisi dengan puluhan rudal. Sementara otoritas Iran mengklaim bahwa setidaknya 80 tentara AS tewas, Washington membantah adanya korban.
Pada hari yang sama, sebuah pesawat penumpang tipe Boeing 737 milik Ukraina jatuh di dekat Teheran, menewaskan 167 penumpang dan sembilan awak di dalamnya.
Cobaan lain yang tak kalah berat bagi Iran adalah perjuangan melawan Covid-19 dam sanksi AS.
Iran telah berjuang untuk mengatasi pandemi sejak Februari tahun ini, ketika kasus pertama dikonfirmasi di kota Qom.
Sejauh ini Iran telah mengkonfirmasi total 54.814 kematian terkait virus dan lebih dari 1,2 juta infeksi. Lebih dari 5.200 pasien berada dalam kondisi kritis, sementara pemulihan melampaui 960.700. Di negara dengan populasi 83 juta, lebih dari 7,4 juta tes telah dilakukan hingga saat ini.
Ketika situasi semakin memburuk karena pandemi Covid-19, para pejabat Iran lebih keras mendesak Washington untuk mencabut sanksi terhadap negara tersebut, namun AS bergeming.
Ketika AS menolak tuntutan Iran untuk mencabut sanksi, para pejabat Iran menuduh Washington melakukan "teror ekonomi dan kesehatan".
Para pejabat Iran telah berulang kali mengatakan bahwa negara tersebut tidak dapat membeli vaksin Covid-19 dan pasokan medis dari luar negeri karena sanksi tersebut.
Selanjutnya, peristiwa pembunuhan ilmuwan nuklir Mohsen Fakhrizadeh. Pada 27 November, Iran mengumumkan bahwa ilmuwan nuklir Mohsen Fakhrizadeh (63) dibunuh ketika mobilnya menjadi sasaran di pinggiran Teheran.
Menteri Luar Negeri Javad Zarif mengatakan Israel "kemungkinan besar terlibat" dalam pembunuhan ilmuwan itu. Pemimpin Tertinggi Iran Ali Khamenei juga menyerukan tindakan terhadap para pembunuh Fakhrizadeh.
Pada 1 Desember, parlemen Iran mengadopsi rencana untuk lebih menurunkan komitmen Iran di bawah kesepakatan nuklir 2015 sebagai tanggapan atas pembunuhan Fakhrizadeh. Rencana tersebut mengharuskan pemerintah untuk melanjutkan pengayaan uranium 20 persen dan meningkatkan persediaan uranium yang diperkaya rendah (LEU).
Meskipun mendapat tentangan keras, badan pengawas tertinggi Iran pada 2 Desember menyetujui rencana tindakan parlemen untuk melawan sanksi AS dengan mempercepat program nuklirnya.
The Guardian Council, sebuah badan dengan mandat konstitusional yang diberdayakan untuk legislasi dokter hewan, menyetujui rencana yang diharapkan dapat meredam upaya pemerintah baru-baru ini untuk membuka saluran komunikasi dengan pemerintah AS yang baru untuk kembali ke pakta nuklir 2015.
Satu-satunya yang mungkin jadi peristiwa paling positif bagi Iran pada tahun 2020 adalah kemenangan Presiden terpilih Joe Biden dalam pemilihan presiden AS, yang menandakan kembalinya kesepakatan nuklir dengan Teheran.
BERITA TERKAIT: