Setidaknya, Erdogan ingin menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Turki adalah negara berdaulat dan pemimpin kawasan.
"Turki pemimpin kawasan. Itu pesan Erdogan di balik keputusan mengembalikan Hagia Sophia menjadi masjid setelah dijadikan museum oleh Attaturk sejak 1935," kata pengamat geopolitik internasional, Muhammad Anis Matta, Selasa (14/7).
Pada dasarnya, keberanian Erdogan tersebut banyak diapresiasi masyarakat muslim dunia, termasuk muslim di Indonesia. Namun di sisi lain kebijakan tersebut memantik pertentangan, terutama dari negara yang kontra dengan Turki seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA).
Bagi Anis, pesan khusus Erdogan ini menyangkut pertarungan geopolitik yang hendak dimenangkannya. Ada strategi khusus yang diinginkan Erdogan demi Turki.
"Ini pesan determinasi di tengah pertarungan
politicall will secara geopolitik," jelas Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia ini.
Jika dilihat lebih dalam, keputusan tersebut merupakan strategi Erdogan dalam geopolitik yang memang diperlukan. Sebab sudah hampir 10 tahun terakhir, Turki terlibat konflik dalam berbagai titik seperti di Syiria, Yunani, Libya, dan Yaman.
Anis Matta menilai titik balik Erdogan terjadi pasca gagalnya kudeta tahun 2016. Saat itu, kudeta militer yang disponsori negara-negara anti-Arab Spring seperti Arab Saudi dan UEA makin mengokohkan posisi internal Erdogan.
"Itu juga membuat Erdogan lebih berani melakukan intervensi militer di kawasan, seperti Libya dan suatu saat mungkin juga Yaman," jelasnya.
Hal lain yang menjadi titik balik adalah terperosoknya harga minyak Arab yang memukul Saudi, UEA, dan Rusia yang merupakan pemain utama dalam konflik geopolitik di kawasan tersebut.
"Pesan determinasi geopolitik Turki ini sepertinya dirancang dengan apik menuju Pilpres terakhir Erdogan tahun 2024 mendatang," pungkasnya.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: