Cerita ini disampaikan Pendeta Gini Gerbasi, Rektor di Gereja St. John's. Ia bersama sekitar 20 pendeta dan sekelompoknjamaat ketika itu sedang membagikan makanan dan minuman serta pembersih tangan kepada para demonstran yang berkumpul dengan damai di Lafayette Park di seberang Gedung Putih.
Kelompok ini diorganisasi oleh Keuskupan Washington DC untuk melayani sebagai "kehadiran damai dalam mendukung para pengunjuk rasa."
Namun, sekitar pukul 18:40, polisi tiba-tiba datang tergesa, mengusir demonstran dari taman, lalu langsung menembakkan gas air mata dan granat kilat untuk membubarkan kerumunan. Polisi juga mendorong orang-orang dari teras gereja agar segera menyingkir. Banyak yang mengeluh kesakitan bahkan sebagian lainnya menangis.
Aksi itu jelas mengejutkan karena mereka dalam keadaan damai tanpa keributan. Aparat melakukan pengusiran dengan cara yang kasar. Berbagai pihak menyoroti Trump menggunakan kekuatan milter untuk melemahkan rakyatnya sendiri.
"Aku ada di sana dengan sweter pink kecil di kerahku, rambut kelabu saya diikat ekor kuda, dengan kacamata baca saya," kata Gerbas, salah satu orang yang ada di lokasi kejadian. Ia menceritakan dirinya bersama orang-orang langsung berlari menjauh. Ia measa sedih.
"Mereka mengubah tanah suci menjadi medan perang," kata Gerbasi. "Mereka mensteril taman dan teras itu supaya orang itu bisa berdiri di depan gedung itu dan berfoto dengan Alkitab."
Para pemimpin gereja dari banyak denominasi mengecam insiden pada Senin malam itu.
Pendeta Kanan Mariann Budde, uskup dari Keuskupan Episkopal Washington, yang membantu mengatur kehadiran para klerus di St. John's, mengatakan semua presiden, juga Trump, "Akan disambut bila datang mengunjungi gereja itu tapi tidak berhak menggunakan simbolisme spiritual dari ruang suci sebagai wadah untuk mempromosikan diri atau menyampaikan pesan yang berbeda."
Kepala Keuskupan Episcopal Washington DC, Uskup Mariann Edgar Budde, mengungkapkan sebenarnya ia menyayangkan kunjungan Trump ke St. John's Church pada Senin (1/6) yang tanpa izin, dan dilakukan hanya untuk sekedar berfoto.
"Dia tidak datang untuk berdoa. Dia tidak datang untuk menyesali kematian George Floyd. Dia tidak datang untuk membahas luka mendalam yang diekspresikan melalui protes damai oleh ribuan demi ribuan. Dia tidak mencoba untuk membawa ketenangan ke situasi yang meledak dengan rasa sakit," ujar Budde.
Pendeta Glenna Huber, rektor Gereja Epifani yang juga sedang berada di St. John's langsung tergesa menghindar ketika Pengawal Nasional tiba. Ia mengatakan, menyaksikan ketika polisi bergegas ke daerah yang baru saja dia tinggalkan dengan gas air mata dan tempakan peluru karet.
Ia prihatin, segera mengingatkan pendeta lainnya untuk berhati-hati.
Gereja St. John's memang telah lama dikaitkan dengan kepresidenan. Didirikan pada tahun 1816, setiap presiden setidaknya pernah mengunjungi gereja itu, sehingga sering disebut sebagai "Gereja Presiden."
BERITA TERKAIT: