Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Pembunuhan Khashoggi, Pembunuhan Hati Nurani

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/zainal-bintang-5'>ZAINAL BINTANG</a>
OLEH: ZAINAL BINTANG
  • Kamis, 25 Oktober 2018, 10:58 WIB
<i>Pembunuhan Khashoggi, Pembunuhan Hati Nurani</i>
Jamal Khashoggi/Net
PEMBUNUHAN seorang jurnalis kritis kebanyakan selalu terkait dengan suatu kekuasaan. Alat kelengkapan kekuasaan yang berada di garis depan yang cepat terlihat adalah aparat intelijen. Mengganggu sebuah kekuasaan sama dengan mencari perkara dengan aparat intelijen.

Kematian tidak wajar yang menimpa diri wartawan kawakan, Jamal Khashoggi (59) menggugah dunia. Pembunuhan yang dilakukan terhadap wartawan asal Arab Saudi berlangsung secara sadis. Tubuhnya dikabarkan telah dimutilasi dan terpotong-potong dalam banyak bagian.

Khashoggi tidak pernah menyangka hari Selasa siang (2/10/2018) di Istanbul, Turki adalah hari naas baginya. Padahal niatnya berkunjung kantor Konsulat Arab Saudi justru untuk "membeli tiket untuk berlabuh ke pulau bahagia" bersama calon isterinya perempuan Turki bernama, Hetice Cengiz (38). Selasa yang naas itu adalah hari kelam bagi keduanya. Wartawan senior itu raib tidak ketahuan rimbanya. Hetice rontok kehilangan pegangan.

Ia mendatangi kantor Konsulat Saudi di Istanbul untuk mengurus surat-surat perceraian agar bisa menikahi tunangannya. Namun Khashoggi tak pernah terlihat keluar meninggalkan gedung Konsulat. Hatice Cengiz, yang menunggu di luar Konsulat Saudi di Istanbul, tidak pernah melihat Khashoggi meninggalkan gedung akhirnya melaporkan kejadian itu kepada otoritas Turki.

Khashoggi adalah wartawan veteran yang antara lain menulis untuk surat kabar The Washington Post. Ia dikenal sangat kritis terhadap kebijakan pemerintah Saudi. Pada Desember 2017  ia memutuskan "untuk mengasingkan diri" di Amerika Serikat. Hidup Khashoggi semakin terancam di bawah pemimpin muda Arab Saudi yang baru terpilih Pangeran Muhammad bin Salman (MBS).

Latar belakang pembunuhan keji atas diri Khashoggi sudah banyak diberitakan oleh hampir semua media kelas dunia. Termasuk di Indonesia. Telunjuk dunia tertuju kepada pemerintahan kerajaan Arab Saudi.

Pada akhirnya Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz, Jumat (19/10/18) menerbitkan tiga perintah kerajaan. Mencopot Mayor Jenderal Ahmed bin Hassan bin Muhammad Assiri sebagai wakil kepala dinas intelijen. Membebastugaskan Saud bin Abdullah al-Qatani yang semula penasihat istana. Pemberhentian sejumlah pejabat tinggi di dinas intelijen Arab Saudi.

Butuh waktu hampir tiga minggu bagi Riyadh untuk mengakui bahwa wartawan Jamal Khashoggi tewas dibunuh di Konsulat Arab di Istanbul, Turki. Ia sesungguhnya bukan orang asing bagi elite Saudi karena pernah menjadi penasehat media bagi Duta Besar Saudi untuk Inggris, PangeranTurki al-Faisal, yang sebelumnya lama bertugas sebagai kepala Intelijen.

Meskipun telah dilakukan serentetan pemecatan pejabat tinggi negara, terutama pejabat tinggi bidang intelijen Arab Saudi,- akan tetapi kasus kekejian terhadap seorang wartawan tetap saja tidak akan bisa mengobati luka hati nurani dunia.

Sejarah berulang dan kembali mencatat, sikap kritis masyarakat terhadap kekuasaan selalu disuarakan dengan nyaring  oleh insan pers alias wartawan. Posisi jurnalis (sejati) yang demikian dianggap sebagai anugerah sekaligus bencana bagi kemanusiaan.

Sulit membayangkan sebuah kekuasaan otoriter dan korup dapat dikontrol bahkan dapat dihentikan jika tidak ada kumpulan manusia idealis bernama wartawan. Wartawan (sejati) adalah hati nurani masyarakat. Obor dunia. Penyuluh  kegelapan atas kekuasaan otoriter. Kematian wartawan adalah kematian nurani dunia.

Drama pembunuhan wartawan adalah tragedi. Tragedi pahit tidak hanya karena nyawa mereka tercerabut dengan paksa. Pembunuhan wartawan dalam bentuk lain dapat terjadi. Katakanlah ketika memperdagangkan prinsip yang seharusnya dipegang teguh. Jenis ini adalah kematian sebelum kematian.

Selamat jalan Khashoggi, kematianmu tidak sia-sia. Menjadi penanda kebuasan kekuasaan belum pernah padam. Kepergianmu mengukuhkan tanggul pelawanan penyimpangan kekuasaan. Percayalah, alam tidak akan pernah letih menghalau ketidakadilan.

"Jangan pernah takut untuk mengangkat suara Anda untuk kejujuran dan kebenaran serta kasih sayang melawan ketidakadilan, kebohongan dan keserakahan," kata William Faulkner, penulis dan peraih hadiah Nobel Sastra dari Amerika Serikat (1897-1962). [***]

Penulis adalah wartawan senior dan pemerhati sosial budaya

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA