Dan sejak akhir 1950-an, negara bernama resmi Democratic People's Republic of Korea itu berusaha menetralkan ancaman nuklir AS lewat berbagi cara, termasuk melalui organisasi internasional.
"Tapi semua usaha kami gagal, jadi kami ambil keputusan kembangkan kekuatan kami sendiri. Di bawah situasi itu, Amerika kaget, lalu buru-buru membujuk denuklirisasi. Kebijakan AS ini terutama di masa pemerintahan Clinton (1993-2001)," terangnya saat berdialog dengan awak redaksi
Harian Rakyat Merdeka dan
Kantor Berita Politik RMOL, di Graha Pena, Jakarta, Selasa (20/2).
Namun, situasi berubah lagi ketika Bill Clinton digantikan oleh George Walker Bush. Pemerintahan Bush menolak kesepakatan antar negara yang dibangun rezim Clinton, bahkan menetapkan Korea Utara sebagai target serangan. Menurut Dubes An, kebijakan AS yang menekan itu dilanjutkan pada rezim Barack Obama lewat sanksi ekonomi.
"Pada masa pemerintahan Clinton itu, negara sosialis runtuh di Eropa Timur. Amerika pikir pada masa Bush, Korea Utara akan runtuh juga. Tapi negara kami tidak runtuh, malah sebaliknya semakin lama semakin kuat. Kami sudah enam kali tes nuklir, juga peluncuran roket balistik antar benua," terangnya.
"Sekarang kami berani katakan, kalau Anda serang kami maka kami akan balas," tambahnya, dalam bahas Korea dan diterjemahkan oleh salah satu staf Kedubes RRDK di Jakarta.
Jadi, alasan utama Korea Utara mengembangkan senjata nuklir adalah berakar pada kebijakan AS terhadap negara itu. Kemudian, kebijakan AS terhadap Asia dengan memperkuat aliansi AS-Jepang-Korea Selatan untuk menekan Rusia dan China.
"AS sebagai adikuasa sudah punya semua syarat unggul, media massa dunia pun dipegang. Mereka memberi citra jelek ke negara kami. Mereka terus bilang Korea Utara sebagai negara nakal yang mengacaukan perdamaian sambil mendorong sanksi internasional," ucap An.
Karenanya, pilihan Korea Utara adalah menyeimbangkan kekuatan AS di Semenanjung Korea.
"Keamanan kami harus dijaga oleh kekuatan kami sendiri," kata dia.
An Kwang Il mengatakan, Korea Utara tanpa ragu mengumumkan kepada dunia bahwa mereka sedang dalam upaya mempersenjatai diri dengan kekuatan nuklir, yang disertai pembangunan ekonomi.
"Walau AS anggap sanksi bisa mematikan, kami punya sumber daya manusia dan teknologi. Rakyat kami punya keyakinan akan hari depan kami. Kalau AS meningkatkan kemampuan nuklir maka kami juga akan demikian," tutur Dubes An.
[ald]
BERITA TERKAIT: