NYT: Jakarta Terlalu Cepat Tenggelam

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/amelia-fitriani-1'>AMELIA FITRIANI</a>
LAPORAN: AMELIA FITRIANI
  • Kamis, 28 Desember 2017, 12:54 WIB
NYT: Jakarta Terlalu Cepat Tenggelam
Jakarta/NYT
rmol news logo Awal bulan Desember tahun ini, Jakarta disambut dengan guyuran hujan dalam intensitas kecil hingga besar. Hal tersebut memicu terjadinya banjir di sejumlah kawasan di Jakarta.

Pada 12 Desember kemarin saja, menurut data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), ada setidaknya 39 titik banjir di wilayah DKI Jakarta.

Hal tersebut tentu menjadi sorotan utama, bukan hanya karena Jakarta saat ini dipimpin oleh Gubernur baru, yakni Anies Baswedan yang didampingi wakilnya, Sandiaga Uno, melainkan karena masalah banjir yang semakin mengkhawatirkan.

Media yang berbasis di Amerika Serikat, New York Times pekan lalu mengulas permasalahan banjir di Jakarta dalam sebuah artikel berjudul "Jakarta Is Sinking So Fast, It Could End Up Underwater".

Dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa akibat perubahan iklim, Laut Jawa mengalami peningkatan serta kondisi cuaca yang semakin ekstrem. Hal tersebut terlihat dari fenomena cuaca awal Desember ini yang disapu badai Dahlia yang membawa serta angin dan hujan serta seketika mengubah jalan-jalan di Jakarta menjadi sungai.

Mengutip peneliti iklim yang juga adalah penasihat Gubernur Jakarta, Irvan Pulungan, ada kekhawatiran bahwa suhu dapat naik beberapa derajat dan permukaan laut juga naik setinggi tiga kaki di Jakarta selama beberapa abad ke depan. Hal itu tentu saja menjadi ancaman jelas bagi ibukota yang padat penduduk ini.

Namun, masalah banjir di Jakarta yang terjadi di awal Desember ini tidak bisa hanya disalahkan pada perubahan iklim dan faktor cuaca, karena banyak hal yang terjadi dan menyebabkan Jakarta saat ini menjadi kota yang tengah tenggelam.

Pada kenyataanya, masih mengutip artikel yang sama, Jakarta saat ini tenggelam lebih cepat daripada kota besar lainnya di bumi ini. Bahkan, Jakarta dinilai lebih cepat tenggelam dari perubahan iklim yang menyebabkan permukaan laut naik.

Karena begitu cepatnya, sehingga sungai kadang-kadang mengalir ke hulu dan hujan biasa secara teratur melanda lingkungan dan bangunan perlahan hilang di bawah tanah, ditelan oleh bumi.

NYT menyebut bahwa penyebab utamanya adalah karena ornag-orang Jakarta menggali sumur ilegal. Saat ini, sekitar 40 persen wilayah Jakarta berada di bawah permukaan laut.

Daerah pesisir, seperti Muara Baru, telah mulai tenggelam sedalam 14 kaki dalam beberapa tahun terakhir.

Sang penulis artikel, Michael Kimmelman mengaku bahwa dia baru-baru ini berkendara mengelilingi Jakarta Utara dan melihat para remaja memancing di pabrik terbengkalai yang setengah terendam.

"Perubahan iklim berlaku di sini (Jakarta), sebagaimana di tempat lainnya, memperburuk sejumlah penyakit lainnya," tulisanya.

"Dan di Jakarta, sebuah bencana tsunami yang disebabkan oleh manusia, pembangunan yang tidak berjalan, kurangnya perencanaan, di samping tidak ada saluran pembuangan dan hanya jaringan air minum, pipa air minum yang dapat diandalkan, merupakan ancaman yang akan segera terjadi pada kelangsungan hidup kota," tambahnya.

Bukan hanya itu, penulis artikel juga membeberkan sederet masalah lainnya yang terjadi dan berakar di Jakarta, yakni pencemaran udara serta kemacetan lalu lintas terburuk di dunia.

"Ketidakpercayaan pemerintah adalah kondisi nasional. Konflik antara ekstremis Islam dan orang-orang Indonesia sekuler, Muslim dan etnis Tionghoa telah menghambat kemajuan, membantu menurunkan pemimpin berpikiran reformasi dan mempersulit segala sesuatu yang terjadi di sini, atau tidak, untuk menghentikan kota agar tidak tenggelam," sambungnya.

Direktur Institut Analisis Kebijakan Konflik Sidney Jones menekankan bahwa masalah ketidakpercayaan pada pemerintah juga menjadi salah satu faktor penyebab masalah.

"Tidak ada orang di sini yang percaya pada kebaikan yang lebih besar, karena ada begitu banyak korupsi, begitu banyak sikap untuk melayani masyarakat saat apa yang dilakukan hanya melayani kepentingan pribadi," kata Jones.

"Tidak ada kepercayaan," tambahnya.

Sementara itu, ahli hidrologi mengatakan bahwa Jakarta hanya memiliki satu dekade untuk menghentikan tenggelamnya kota. Jika tidak dicegah, maka wilayah Jakarta Utara dengan jutaan penghuninya, akan berakhir di bawah air, bersamaan dengan sebagian besar ekonomi negara.

Masalah kronis Jakarta bukan sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba, melainkan sudah mengakar sejak berpuluh-puluh tahun sebelumnya.

Jakarta selama puluhan tahun mengalami pertumbuhan yang dinilai sembrono dan kepemimpinan lalai. Warga Jakarta dan pengembang secara ilegal menggali sejumlah sumur yang tidak terhitung jumlahnya. Selain itu, lebih dari 97 persen wilayah Jakarta sekarang ditutupi oleh beton dan aspal. Bidang terbuka yang pernah diserap hujan telah diaspal.

Untuk mencegah kota tenggelam, Jakarta dinilai perlu menghentikan penggalian sumur, yang berarti Jakarta harus menyediakan air bersih, pipa air bersih yang andal untuk membersihkan jalur air, entah bagaimana dan mungkin akan menelan biaya miliaran rupiah.

Selain itu juga perlu dilakukan pembersihan kanal dan sungai. Dalam hal ini juga memerlukan kerjasama dari pabrik yang membuang bahan kimia, yang berarti bergulat dengan korupsi.

JanJaap Brinkman, seorang ahli hidrologi yang telah berpuluh-puluh tahun mempelajari Jakarta untuk lembaga penelitian Belanda Deltares, bersimpati dengan penduduk komunitas seperti Akuarium dan Tongkol yang digusur di masa pemerintahan Basuki Tjahja Purnama.

Menurutnya, penggusuran bukanlah "obat" dari semua masalah. Kendati demikian, Brinkman menekankan, memindahkan orang dari wilayah tersebut sangat penting.

"Kita butuh langkah besar sekarang," katanya.

"Jika semua diskusi selesai dengan nelayan dan pembangunan, akhirnya akan ada bencana besar dan kematian dan tidak ada pilihan selain menyerah di seluruh wilayah Jakarta," sambungnya.

Irvan Pulungan, penasihat perubahan iklim bagi gubernur yang baru menjelaskan bahwa Tokyo berada dalam situasi yang sama setelah Perang Dunia II. Kota tersebut tenggelam sekitar 12 kaki sejak 1900.

Namun, kota tersebut menuangkan sumber daya ke infrastruktur baru dan menetapkan peraturan yang lebih ketat mengenai pembangunan, dan dalam satu atau dua dekade membuat model inovasi urban yang global. Hal tersebut terbukti lebih mampu mengatasi dampak perubahan iklim.

"Jakarta bisa menjadi versi ke-21 di Tokyo pada abad ke-20, sebuah contoh untuk pembangunan kembali kota," kata Irvan Pulungan. [mel]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA