Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Dubes Cho Taiyoung Memainkan Diplomasi Benci Tapi Rindu

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/teguh-santosa-5'>TEGUH SANTOSA</a>
OLEH: TEGUH SANTOSA
  • Rabu, 22 Maret 2017, 10:22 WIB
Dubes Cho Taiyoung Memainkan Diplomasi <i>Benci Tapi Rindu</i>
Foto: RMOL
rmol news logo Politisi memaksimalkan penampilan mereka di media massa. Sementara pegawai negeri (public servant) sebaliknya, memilih bersembunyi.

“Politisi sering tampil di media massa karena ingin mendapatkan simpati rakyat. Sementara kami untuk apa sering-sering muncul di berita. Tidak ada yang akan memilih kami,” kata Cho Taiyoung.

Dulu, Cho Taiyoung juga percaya pada pandangan itu. Tetapi saat menjadi Jurubicara Kementerian Luar Negeri Republik Korea, Cho Taiyoung menyadari bahwa itu adalah pandangan yang keliru.

Media massa dan wartawan adalah elemen penting yang harus dirangkul dan didekati. Karena bagaimanapun juga media massa dan orang-orang yang profesi wartawan adalah perantara adalah pemerintah dan rakyat.

Hal ini antara lain yang disampaikan Cho Taiyoung saat menjamu pimpinan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Selasa malam (21/3). Sudah hampir tiga tahun Cho menjadi Dutabesar Republik Korea untuk Republik Indonesia.

Di tahun 2013, saat masih menjabat sebagai Jurubicara Kemlu, Cho juga pernah menerima delegasi PWI yang sedang berkunjung ke Seoul. Lalu di tahun 2014 ketika dirinya mulai bertugas di Jakarta, PWI adalah salah satu lembaga yang pertama dikunjunginya.

Kepada tamu-tamunya tadi malam, Cho mengatakan, dia menyadari peranan penting PWI dalam proses demokrasi Indonesia.

Jamuan makan malam di kediaman dinas Dubes Korea Selatan di Jalan Imam Bonjol itu berlangsung hangat dan bersahabat. Cho yang mengenakan batik tangan panjang berwarna cerah seakan menghilangkan sekat protokoler yang melekat pada jabatannya sebagai Dubes.

“Tidak lama lagi saya akan meninggalkan Jakarta. Semua yang saya alami disini akan menjadi kenangan yang indah bagi saya,” ujarnya.

Sebelum jamuan makan malam dimulai, di ruang tunggu Dubes Cho memperlihatkan kebolehannya menyanyikan lagu-lagu Indonesia. Menurutnya, dia hapal dengan sangat baik 16 lagu Indonesia.

“Lihatlah tanda merah di pipi, bekas gambar tanganmu. Sering kau lakukan bila kau marah menutupi salahmu,” begitu antara lain penggalan lagu Hati Yang Luka yang dinyanyikan Dubes Cho.

Dari mimiknya yang menghayati kata demi kata, terlihat Dubes Cho memahami benar arti lagu itu.

“Ini lagu KDRT (kekerasan dalam rumah tangga),” katanya.

“Apakah Yang Mulia tahu bahwa lagu ini pernah dilarang di era Orde Baru?” saya bertanya.

“Ya, saya tahu ceritanya. Lagu ini dianggap tidak pantas,” jawabnya.

Anggota Dewan Kehormatan PWI Ishadi SK yang duduk tak jauh dari Dubes Cho menyambung cerita.

“Saat itu saya Dirut TVRI. Pak Harmok0 (Menteri Penerangan waktu itu) menghubungi saya dan minta agar lagu itu tidak ditayangkan lagi karena cengeng. Lalu kita hentikan. Tapi belakangan saya tahu lagu ini populer. Jadi saya minta kawan-kawan untuk memutarnya lagi,” cerita Ishadi SK yang tadi malam mewakili Ketua Umum PWI Margiono.

Mendengar cerita Ishadi SK, tawa pun pecah di ruang tunggu itu.

Dubes Cho juga sempat menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya bersama Ketua Dewan bidang Daerah PWI Atal Depari dan Ketua PWI Banten Firdaus.

Di akhir salah satu bait, Firdaus bikin plesetan. Lirik “Marilah kita berseru, Indonesia Bersatu,” diubah Firdaus menjadi “Marilah kita berseru, Korea bersatu.”

Sebagai penutup jamuan makan malam, Dubes Cho kembali memperlihatkan kepiawaiannya menyanyikan lagu Indonesia.

Kali ini dia meminta petugas rumah tangga untuk menyiapkan karaoke di sisi meja makan.

Musik pun mengalun. Semua yang hadir di ruangan itu, mungkin kecuali dua diplomat Republik Korea Minister Counselor Park Jaekyung dan Minister Jeon Joyoung yang mendampingi Dubes Cho, tahu bahwa lagu yang akan dinyanyikan adalah Benci Tapi Rindu.

“Seperti hubungan Korea Selatan dan Korea Utara,” bisik saya pada Ketua Dewan Kehormatan PWI Sumatera Barat Basril Basyar yang duduk di sebelah. Dia tersenyum.

Dubes Cho tidak bernyanyi sendiri. Dia ditemani Ketua Dewan Kehormatan PWI Ilham Bintang dan Ketua PWI Banten.

“Wah terima kasih. Ini lagu yang indah sekali,” ujar Cho tampak puas.

Dalam jamuan makan malam itu, Cho hanya sedikit menyinggung soal hubungan negaranya dengan Korea Utara. Tadinya banyak yang berharap dia akan bicara banyak tentang kemelut baru di Semenanjung Korea, terutama terkait kematian warganegara Korea Utara di Malaysia, juga soal impeachment Presiden Park Geun-hye dan rencana pemasangan Terminal High Altitude Area Defense (THAAD) di Semenanjung Korea yang diprotes Republik Rakyat China.

Tapi hal-hal ini tak begitu banyak dibicarakan Dubes Cho.

Dia lebih banyak menyampaikan apresiasinya atas peranan PWI dalam demokrasi dan juga rasa terima kasih karena diundang menghadiri Hari Pers Nasional (HPN) 2017 di Ambon, Maluku, bulan lalu.

Dia akan berusaha hadir di HPN 2018 di Padang, Sumatera Barat. Mengapa dikatakan berusaha? Karena tahun depan kemungkinkan sekali dirinya sudah tidak bertugas di Indonesia.

Adakah kemungkinan masa jabatannya di Jakarta diperpanjang?

“Kelihatannya kecil kemungkinan itu. Karena antrean sudah panjang,” Dubes Cho menjawab sambil tertawa.

Dubes Cho juga menanyakan kasus-kasus yang sedang ramai dibicarakan di Indonesia.

Dia mengikuti dengan baik kasus penistaan agama yang melilit Basuki Tjahaja Purnama, juga kasus E-KTP yang belakangan mewarnai media massa Indonesia.

Dubes Cho juga mengatakan, bahwa di Korea Selatan sejak September 2016 ada UU anti korupsi yang baru. UU ini jauh lebih ketat dari UU sebelumnya.

Misalnya, sebagai Dubes dirinya tidak bisa meminta agar proses pembuatan visa untuk pihak tertentu dipercepat. Itu akan dianggap sebagai permintaan yang tidak adil (unjust request), dan berbau korupsi.

Contoh lain, Dutabesar tidak bisa menyediakan makanan untuk menjamu Menteri Luar Negeri yang sedang berkunjung, walaupun Menlu adalah atasan Dubes.

Jadi kalau ada jamuan makan, maka harus Menlu yang membayar semua pengeluaran.

“Kalau bawahan melayani atasan, bisa jadi karena ada maunya. Tapi kalau atasan melayani bawahan, tidak ada apa-apa yang diinginkannya,” begitu penjelasan Dubes Cho. [guh]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA