Selain ke Sderot, kami juga mengunjungi Terminal Erez, tempat penyeberangan warga dari Gaza ke Israel, sekaligus sebagai terminal kargo di perbatasan Israel dan Jalur Gaza. Seperti Kota Sderot, terminal ini juga pernah dihujani serangan roket dan bom bunuh diri (Palestina menyebutnya bom syahid) oleh Hamas dan Jihad Islam.
Kami tiba di terminal penyeberangan seluas 35.000 meter persegi dan mampu melayani 45.000 orang perhari ini pada tengah hari, Kamis, 29 Okrtober lalu. Suasananya lengang. Di parkiran depan, tampak sebuah mobil ambulans besar milik Bulan Sabit Merah (Hilal Ahmar) Palestina terparkir.
Sejumlah tentara Israel berseragam dan berpakaian sipil tampak berjaga di beberapa pos yang berjauhan. Kami langsung disambung Manajer Terminal Erez, Shlomo Tsaban. Pria tinggi besar ini bicaranya nyaring, kadang meluap-luap. Apalagi saat menceritakan bagian-bagian yang pernah menjadi sasaran bom bunuh diri atau roket-roket Hamas tadi.
Sebagai bagian dari prosedur keamanan, bagian depan terminal yang mirip hanggar ini dilengkapi banyak sekali kamera CCTV di semua penjuru. Saat diajak masuk ke ruangan dalam terminal, begitu memasuki ruang pertemuan, di atas meja, juga dipajang beberapa bangkai roket yang pernah ditembakkan Hamas ke Terminal Erez.
Di sudut lain, tampak sebuah foto seorang tentara Israel yang tewas akibat serangan bom bunuh diri. Si prajurit ini agak istimewa bagi keluarga besar Terminal Erez, karena dia merupakan anak tunggal di keluarganya. "Jadi, keluarganya tidak punya penerus lagi," sebut Shlomo.
Serangan bom bunuh diri ini terjadi pada 14 Januari 2004. Saat itu, pelakunya adalah seorang perempuan Palestina. Empat tentara Israel tewas, 10 orang luka-luka, termasuk empat warga Palestina. Hamas dan Brigade Martir al Aqsha mengaku sebagai pelaku di balik aksi serangan tersebut.
Meski dalam kondisi konflik, menurut Shlomo, sebenarnya pemerintah Israel justru tetap menyalurkan sejumlah kebutuhan pokok ke Gaza, termasuk pasokan air dan listrik, sebagai bagian dari Perjanjian Oslo pada 1993. Israel memasok sekitar 70 persen kebutuhan listrik di Gaza dan Mesir memberikan lima persen. Sisanya, dari pembangkit listrik yang ada di Gaza. Sementara air, Israel memasok air tahunan 5 miliar meter kubik ke Gaza.
Maret lalu, Israel malah menyatakan kesanggupan meningkatkan menjadi 10 miliar meter kubik, karena kebutuhan yang meningkat di kawasan Palestina tersebut. Gaza sebenarnya juga mendapatkan air sumber bawah tanah setempat sekitar 200 juta meter kubik. Namun sayangnya berasa asin, sehingga baru bisa diminum setelah disaring.
Melalui terminal ini pula, Israel memberikan jalan bagi warga Gaza yang hendak memasuki wilayah Israel, baik mereka yang akan bekerja, harus berobat ke rumah sakit, atau sekedar berkunjung ke keluarga mereka yang ada di Israel.
Namun alasan-alasan inilah yang terkadang juga dimanfaatkan oleh kelompok Hamas untuk menyerang Israel. Misalnya dengan berupaya memasukkan penyerang bom bunuh diri, seperti yang terjadi pada 14 Januari 2004 itu.
Terdengan aneh rasanya, ketika kondisi Gaza (Palestina) yang berperang dengan Israel, tapi keduanya diikat perjanjian untuk membantu salah satu pihak. Apalagi ketika mengunjungi Rumah Sakit Edith Wolfson Medical Center di Holon, dekat Tel Aviv, Jumat esok harinya.
Bahkan ketika tadi baru memasuki halaman depan gedung terminal penyeberangan ini, saat melihat sebuah mobil ambulans Bulan Sabit Merah Palestina yang ada di wilayah Israel, namun sedang terlibat konflik bersenjata, atau perang dengan Israel?
Edith Wolfson Medical Center juga merupakan markas Save a Child’s Heart (SACH), organisasi kemanusiaan yang khusus menangani penyakit jantung anak. Didirikan pada 1996, hingga kini, SACH telah merawat lebih dari 3.200 anak dari 45 negara-negara berkembang, di sejumah rumah sakit Israel. Uniknya, di antara para bayi yang Jumat itu saya lihat, beberapa di antaranya dari Gaza.
"Kami ingin menunjukkan, sebenarnya kami (Israel) bisa hidup berdampingan (dengan Palestina). Salah satunya melalui rumah sakit ini, dimana di antara pasiennya adalah juga dari Gaza (Palestina). Tak cuma anak-anak, warga Gaza lainnya pun banyak dirawat di Israel," kata Roley Horowitz, guide Israel yang mendampingi kami.
Bersambung
BERITA TERKAIT: