Khaled Abu Toameh adalah wartawan Arab Israel yang bekerja utnuk The Jerusalem Post dan The Gatestone Institute, sebuah lembaga think tank di New York khusus mengenai masalah-masalah strategi dan pertahanan. Selain itu, dia juga adalah dosen, serta sineas film dokumenter. Hingga 1989, Khaled merupakan produser dan konsultan untuk NBC News. Tulisannya tersebar di sejumlah suratkabar seluruh dunia.
Inilah agaknya salah satu alasan, mengapa Khaled menjadi di antara pemateri diskusi bersama kami, mengenai masalah Palestina-Israel. Meski memiliki darah Palestina dari ibunya, penerima Daniel Pearl Award pada 2014 ini justru banyak melancarkan kritikannya kepada Otoritas Palestina.
Saat berbicara, Khaled kadang tampak berusaha menahan emosinya. Soal maraknya kasus penyerangan penusukan oleh orang-orang Palestina kepada warga Israel, baik sipil maupun militernya misalnya, dia mengajak kami mengingat peristiwa penusukan oleh pemuda Palestina terhadap warga sipil Israel.
Pada 12 Oktober 2015, seorang anak laki-laki Palestina, Ahmad Manasra (13 tahun), dan sepupunya, Hasan (15 tahun), menyerang dua warga Israel dengan pisau. Ma’an News melaporkan, insiden ini terjadi dekat pemukiman Pisgat Zeev di Yerusalem Timur.
Menurut Khaled, dari hasil pemeriksaan, ternyata mereka baru membaca pesan yang disebar di media sosial pagi itu. Isinya, Siapa yang hari ini bertemu orang Yahudi, bunuhlah mereka. Karena mereka akan merebut Masjid al-Aqsha. Bila mereka pun akhirnya tewas tertembak, maka mereka akan mati syahid.â€
Anak-anak muda Palestina yang pikiran mereka diisi dengan hal-hal yang seperti inilah, ujar Khaled, yang di antaranya membuat kekerasan antara Palestina-Israel terus berlanjut.
Sejak sebelum berangkat, saat berada di sana, hingga setelah kami kembali ke Indonesia, kasus penusukan oleh warga Palestina terhadap warga Israel memang terus terjadi. Selasa, 11 Agustus lalu misalnya, seorang warga Israel ditusuk sejumlah warga Palestina di sebuah SPBU di Bethoron, Tepi Barat. Pasca insiden tersebut, tentara Israel menembak pelaku penusukan hingga tewas. Sebelum keberangkatan kami ke Israel, dalam sepekan awal Oktober lalu saja, empat warga Israel dan tujuh warga Palestina tewas dalam rentetan kekerasan tersebut. Ini termasuk empat warga Palestina yang tewas setelah mereka menyerang beberapa warga Israel. Tiga warga Palestina lainnya tewas saat bentrokan dengan pasukan keamanan Israel.
Ketika kami berada di Israel, setidaknya dua kali kasus penusukan terjadi. Salah satunya, terjadi di depan super market di kawasan Gush Etzion Regional Council, utara Bukit Yudea, atau di wilayah utara Tepi Barat bagian selatan, Rabu, 28 Oktober lalu.
Saat tiba di kawasan ini sekitar pukul 17.00 sore, banyak tentara Israel masih berjaga-jaga. Ceceran darah dari korban penusukan masih terlihat di halaman parkir super market Rami Levi. Padahal selama ini, kawasan tersebut dikenal sebagai tempat warga Yahudi dan Arab hidup damai. Sehari-harinya, biasa terlihat bagaimana mereka sama-sama bekerja atau berbelanja.
Tapi sore itu, Nirit Zimora, seorang wanita Israel warga Beit Hagai, South Hebron Hills ditusuk dengan pisau di bagian punggung. Saat dilarikan ke rumah sakit Shaare Zedek Medical Center di Jerusalem pun, pisau si penyerang masih bersarang di punggungnya. Pihak keamanan kemudian bisa menangkap si penyerang, yang merupakan pria Palestina.
Davidi Perl, Walikota Gush Etzion Regional Council tampak sedang diwawancarai media televisi setempat. Meski tampak tenang saat memberi keterangannya, Perl tetap terlihat kesal. Menurutnya, si penyerang sengaja menyerang warga yang tidak berdosa, di kawasan yang selama ini warga Yahudi dan Arab Israel hidup berdampingan dengan damai. Rasanya, pengen tuh orang ditembak dan dikubur saja sekalian,†ucapnya kesal.
Kondisi kekerasan yang tak pernah berhenti ini, Khaled kembali menjelaskan, setidaknya terjadi karena kurangnya kemampuan kepemimpinan Mahmoud Abbas sebagai Presiden Palestina. Selain itu, juga karena kurangnya pendidikan agar terwujudnya perdamaian antara Palestina dan Israel. Ujung-ujungnya, perundingan-perundingan perdamaian selalu gagal,†keluhnya.
Meski secara definitif Abu Mazen (sebutan akrab Abbas) adalah pemimpin pemerintahan Palestina, lanjut Khaled, namun penerus Yasser Arafat itu seolah tak punya mandat dari rakyat. Bahkan antara kelompok Fatah di bawah Abbas dengan Hamas di Gaza, di bawah Ismail Haniyyah, menurutnya juga selalu sulit bersatu. Andai tidak ada Israel, boleh jadi antara Fatah dan Hamas malah terjadi perang,†kritiknya.
Ketika marak terjadi penyerangan-penyerangan penusukan oleh para warga Palestina terhadap warga Israel, masih menurut Khaled, Presiden Abbas bahkan tidak mampu mengutuk aksi-aksi tersebut.
Harapan tinggal kepada dunia internasional. Mereka harus minta, agar pemerintah Palestina menghentikan penyerangan-penyerangan penusukan warga Palestina terhadap warga Israel ini,†harap Khaled.
Melihat fakta dan pemaparan penerima Emet Award oleh Komite Akurasi Liputan di Timur Tengah dari Amerika (CAMERA) pada 2013 ini, sebagai orang luarâ€, saya agak kaget.
Bukankah berita selama ini, bila ada kasus penusukan oleh warga Palestina terhadap warga Israel, lalu si penusuk ditembak, kadang hingga tewas, lalu berita yang muncul, Israel Kembali Bunuh Pemuda Palestina� Berita tentang kenapa korban itu ditembak, sering kali tak muncul.
Bersambung
BERITA TERKAIT: