Satu abad lalu, di tahun 1913, Wina adalah ibukota dari Emporium Austro-Hungarian, sebuah kerajaan besar untuk ukuran Eropa pada masa itu, terdiri dari 15 bangsa dengan populasi lebih dari 50 juta orang. Sebagai ibukota, Wina ketika itu didiami lebih dari 2 juta orang.
Kerajaan Austria-Hungaria berdiri pada 1867, dan bubar menyusul kekalahan besar di penghujung Perang Dunia Pertama, 1918. Kini, sejumlah negara yang berdiri di atas puing-puing Austro-Hungarian, adalah Austria, Bosnia Herzegovina, Kroasia, Republik Czech, Hungaria, Itaila, Montenegro, Polandia, Romania, Serbia, Slovakia, Slovenia dan Ukraina.
Editor
Vienna Review, Dardis McNamee yang menetap Wina sejak 17 tahun lalu mencatat begitu banyak bahasa digunakan oleh penduduk Wina dalam pergaulan sehari-hari. Wina, katanya seperti dikutip dari
BBC, tidak bisa disebut sebagai
melting pot. Namun begitu, kota ini memiliki sup budaya sendiri.
"Kurang dari setengah penduduk kota Wina yang berjumlah 2 juta orang lahir di Wina. Sekitar seperempat datang dari Bohemia (saat ini bagian barat Republik Czech) dan Moravia (timur Republik Czech), dengan demikian bahasa Czech digunakan bersama bahasa Jerman dalam banyak hal,†ujarnya.
Wina seabad lalu juga seperti Wina yang kita kenal kini. Bukan
melting pot, tetapi "sup budaya". Tahun 1913, persis setahun sebelum peristiwa pembunuhan Archduke Franz Ferdinand yang menjadi tonggak dari Perang Dunia Pertama, Wina menjadi tuan rumah bagi sejumlah tokoh besar yang memainkan peranan penting dalam perjalanan dunia abad ke-20.
Tokoh-tokoh itu adalah Adolf Hitler, Leon Trotsky, Joseph Tito, Sigmund Freud dan Joseph Stalin.
Leon Trotsky saat itu adalah editor untuk harian
Pravda di Rusia sedang dalam pelarian. Di bulan Januari, di sebuah kafe di Stasiun Kereta Wina dirinya sedang menunggu seorang teman.
Saat itu, masuklah seorang pria dari Krakow di Polandia. Di paspor yang digenggamnya tertulis nama Stavros Papadopoulos. Pria berperawakan pendek dengan sinar mata yang tidak memperlihatkan sikap persahabatan lahir dengan nama Iosif Vissarionovich Dzhugashvili, dikenal teman-temannya sebagai Koba, dan kelak dikenal rakyat Uni Soviet sebagai Joseph Stalin.
Tidak seperti Trostky dan Stalin yang sedang dalam pelarian, psikoanalis Sigmund Freud sudah lebih dahulu mapan di Wina. Kafe Landtmann disebutkan sebagai kafe yang kerap dikunjungi Freud, dan sampai sekarang kafe itu masih populer.
Sementara, di saat bersamaan, Josip Broz yang setelah itu dikenal sebagai Marshal Tito oleh rakyat Yugoslavia, bekarja di pabrik otomotif Daimler di Wiener Neustadt, selatan Wina.
Jauh setelah masa itu, bahkan setelah melampaui Perang Dunia Kedua, Tito bersama pemimpin India Jawaharlal Nehru, Presiden Indonesia Sukarno, Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser, Presiden Ghana Kwame Nkrumah dan Perdana Menteri Burma U Nu mendirikan Gerakan Non Blok di Belgrade.
Tokoh dunia terakhir yang juga tinggal di Wina pada tahun 1913 adalah Adolf Hitler yang kelak menjadi biang Perang Dunia Kedua pada 1939.
Di Wina tahun 1913, Hitler masih berusia 24 tahun, dan tengah menuntut ilmu di Akademi Wina. Cita-citanya ketika itu tunggal: menjadi pelukis terkenal. Siapa sangka, gagal menjadi seniman, Hitler menempuh karier yang sama sekali berbeda, membawa sebuah negara bernama Jerman memasuki gerbang perang besar yang rasa-rasanya akan sulit untuk dilupakan hingga kapanpun.
Kelima tokoh ini, menurut Andi Walker, dalam tulisannya di
BBC menghabisan waktu di tempat yang sama di pusat Wina, di kawasan yang luasnya hanya sekitar dua mil persegi.
Tidak diketahui apakah di antara kelimanya pernah bertemu dan bertukar pikiran mengenai hal-hal pokok yang sedang terjadi pada masa itu.
Namun, kemungkinan itu ada. Trotsky dan Hitler, misalnya, sama-sama penggemar kopi di Kafe Central.
"Emporium Austro-Hungarian bubar tahun 1918. Sementara Hitler, Stalin, Trotsky dan Tito berputar memasuki karier yang akan menandai sejarah dunia selamanya,†demikian Andi Walker.
[guh]
BERITA TERKAIT: