IDA: Kamp Tindouf Memprihatinkan!

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/teguh-santosa-1'>TEGUH SANTOSA</a>
LAPORAN: TEGUH SANTOSA
  • Minggu, 25 September 2011, 10:11 WIB
IDA: Kamp Tindouf Memprihatinkan<i>!</i>
bendera aljazair/ist
rmol news logo Peserta konferensi mengenai aspek kemanusiaan dalam resolusi konflik yang digelar International Development Agency (IDA) di Jenewa menyepakati bahwa otonomi khusus di Sahara Barat adalah solusi yang paling tepat untuk mengakhiri konflik berkepanjangan antara Kerajaan Maroko dan kelompok separatis Polisario yang didukung Aljazair dan Libya.

Peserta dalam konferensi yang digelar hari Kamis lalu itu (24/9), juga mendesak agar komunitas internasional sesegera mungkin mengintervensi kamp Tindouf di Aljazair yang dikuasai Polisario untuk menahan para pengungsi sejak pertengahan 1970an.

Sejumlah laporan media massa dan berbagai lembaga internasional belakangan ini mulai mempertanyakan itikad Polisario dan Aljazair di balik keengganan mereka memberikan akses kepada lembaga internasional, termasuk Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR). Di sisi lain, Polisario menggunakan pengungsi yang berada di dalam kamp Tindouf sebagai alat tawar menawar untuk mendapatkan bantuan kemanusiaan dari berbagai pihak.

Peserta dalam konferensi di Jenewa itu menyampaikan keprihatinan mereka terhadap kondisi kehidupan yang dialami pengungsi. Disebutkan bahwa para pengungsi tidak mendapatkan sejumlah hak dasar mereka sebagai manusia, termasuk hak menyampaikan pendapat dan beropini.

Para pembicara dalam konferensi ini juga mengecam Polisario yang melarang para penghuni kamp meninggalkan kamp atau sekadar kembali ke tanah kelahiran mereka di Polisario untuk bertemu dengan sanak saudara yang terpisahkan selama lebih dari tiga dekade.

Salah satu hal yang dibicarakan dalam pertemuan itu adalah kasus yang dialami Mostapha Salma Ould Sidi Mouloud, mantan kepala polisi Polisario yang tahun lalu kembali ke Maroko.

Setelah mengamati berbagai perkembangan dan pembangunan di Sahara, Mostapha meminta agar Polisario mengubah pendekatan mereka dalam konflik dengan Maroko. Menurutnya, otonomi khusus adalah jalan keluar terbaik.

Pernyataan ini tentu membuat Polisario marah. Mostapha sempat ditahan sebelum akhirnya melarikan diri dengan luka tembak.

Peserta konferensi juga menyebut Aljazair sebagai pihak yang bertanggung jawab atas semua kejadian di Tindouf. Mereka tidak habis piker bagaimana mungkin pemerintah Aljazair membiarkan para pengungsi berada di bawah kekuasaan Polisario yang anti demokrasi itu.

Selain itu, korupsi juga kini menjadi persoalan yang semakin tak terkendali di Tindouf. Tak terhitung banyaknya bantuan kemanusiaan yang digelapkan dan diselundupkan elit Polisario ke negara-negara lain di kawasan Sahara, seperti Mauritania, Mali dan Nigeria.

Di antara para pembicara yang hadir dalam konferensi itu adalah Ketua Umum Jaringan Internasional untuk Inisiatif Otonomi, Mroue Rowaida, Dr Lahcen Haddad, juga Presiden Aksi untuk Perdamaian dan Pembangunan, Maurice T. Katala. [guh]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA