Lembaga internasional pengawas kejahatan keuangan yang bermarkas di Paris itu menyebut bahwa meskipun ada kemajuan sejak 2024, masih banyak negara yang belum serius mengatur penggunaan kripto. Dari 138 negara yang dinilai hingga April 2025, hanya 40 negara yang dianggap “sebagian besar patuh” terhadap aturan FATF. Tahun sebelumnya hanya 32 negara.
“Karena aset kripto tidak mengenal batas negara, lemahnya pengawasan di satu tempat bisa berdampak ke seluruh dunia,” kata FATF, dikutip dari
Reuters, Sabtu 28 Juni 2025.
Firma analisis blockchain Chainalysis memperkirakan bahwa dompet kripto terlarang menerima hingga 51 miliar Dolar AS selama 2024.
FATF menyoroti bahwa banyak negara masih kesulitan melacak siapa yang sebenarnya ada di balik transaksi kripto. Ini menunjukkan kekhawatiran yang semakin besar dari lembaga keuangan global terhadap risiko kripto.
April lalu, otoritas pengawas keuangan Uni Eropa juga memperingatkan bahwa pertumbuhan cepat sektor kripto bisa mengganggu stabilitas ekonomi global, apalagi hubungan antara kripto dan pasar keuangan tradisional makin erat.
FATF juga menyoroti penggunaan stablecoin, mata uang kripto yang nilainya dipatok ke mata uang seperti Dolar AS, oleh berbagai pihak jahat. Termasuk di antaranya Korea Utara, kelompok pendana teroris, hingga kartel narkoba. Saat ini, sebagian besar transaksi kripto ilegal melibatkan stablecoin.
Badan intelijen AS, FBI, menyebut Korea Utara berada di balik pencurian senilai 1,5 miliar Dolar AS dari bursa kripto ByBit pada Februari lalu. Ini menjadi pencurian kripto terbesar sepanjang sejarah. Korea Utara sendiri membantah terlibat.
BERITA TERKAIT: