Efek Tarif AS untuk Thailand akan Terasa di Paruh Kedua 2025

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/reni-erina-1'>RENI ERINA</a>
LAPORAN: RENI ERINA
  • Sabtu, 10 Mei 2025, 12:42 WIB
Efek Tarif AS untuk Thailand akan Terasa di Paruh Kedua 2025
Gubernur Bank of Thailand Sethaput Suthiwartnarueput/Bangkok Post
rmol news logo Thailand menjadi salah satu negara yang terdampak kebijakan tarif baru dari Amerika Serikat (AS). 

Bank Sentral Thailand (BoT) memperingatkan bahwa dampaknya bisa berlangsung lama dan penuh ketidakpastian, terutama bagi sektor ekspor utama negara itu.

Gubernur BoT, Sethaput Suthiwartnarueput, pada Jumat, 9 Mei 2025, mengatakan bahwa dampak nyata dari kebijakan ini kemungkinan akan terlihat lebih jelas pada paruh kedua tahun ini.

Namun, menurutnya, Thailand harus siap menghadapi gangguan serius, apalagi jika tidak ada kesepakatan sebelum moratorium global pengurangan tarif berakhir pada bulan Juli.
Thailand adalah mitra dagang terbesar AS di Asia Tenggara tahun lalu. Ekspor Thailand ke AS menyumbang 18,3 persen dari total ekspor negara itu, senilai 54,96 miliar dolar AS.

AS mencatat defisit perdagangan sebesar 45,6 miliar dolar AS dengan Thailand. Jika tidak ada solusi, beberapa produk ekspor Thailand bisa dikenakan tarif hingga 36 persen.

Menurut Sethaput, sektor manufaktur akan menjadi yang paling terdampak, meski efeknya tidak separah saat pandemi. Ia juga mengingatkan risiko relokasi pabrik oleh perusahaan multinasional demi menekan biaya, yang bisa melemahkan daya saing industri Thailand.

Ia mendorong pemerintah untuk mengambil langkah yang tepat sasaran bagi setiap sektor terdampak, bukan dengan kebijakan stimulus umum. Sektor yang perlu jadi fokus antara lain pertanian, mesin dan peralatan, otomotif dan suku cadangnya, serta peralatan listrik dan elektronik.

“Kebijakan harus bersifat strategis dan spesifik, serta mengatasi titik-titik lemah yang ada,” ujar Sethaput, dikutip dari Bangkok Post.

Ia juga menekankan pentingnya mempertahankan investasi asing dengan memberikan insentif yang menarik dan mempermudah iklim usaha.

Sethaput turut menyoroti kekhawatiran akan meningkatnya impor dari negara lain, terutama Tiongkok, akibat pengalihan perdagangan. Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dinilai paling rentan terhadap kondisi ini. Karena itu, ia menyerukan kebijakan antidumping dan standar impor yang lebih ketat.

Selain itu, ia juga mendorong reformasi struktural, salah satunya dengan menyederhanakan aturan-aturan lama yang menghambat, agar ekonomi Thailand bisa lebih efisien dan kompetitif. rmol news logo article
EDITOR: RENI ERINA

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA