S&P Sebut Korporasi Indonesia Kini Lebih Tangguh Hadapi Krisis

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/reni-erina-1'>RENI ERINA</a>
LAPORAN: RENI ERINA
  • Jumat, 02 Mei 2025, 12:15 WIB
S&P Sebut Korporasi Indonesia Kini Lebih Tangguh Hadapi Krisis
Ilustrasi/RMOL
rmol news logo Perusahaan-perusahaan di Indonesia kini berada dalam kondisi yang lebih baik dibandingkan saat Rupiah melemah sebelumnya, berkat utang yang lebih terkontrol dan penurunan nilai Rupiah yang lebih lambat, menurut  S&P Global Ratings.

Xavier Jean, direktur senior S&P di Singapura, mengatakan sektor korporasi Indonesia dalam kondisi yang solid. 

"Kami percaya sektor korporasi Indonesia lebih tangguh menghadapi pelemahan Rupiah dibandingkan sebelumnya," katanya, dikutip dari Bloomberg, Jumat 2 Mei 2025.

Jean menambahkan bahwa penggunaan utang telah menurun sejak puncaknya saat pandemi Covid-19. 

"Saat ini, pembiayaan dalam mata uang Rupiah lebih banyak digunakan, karena perusahaan memanfaatkan suku bunga bank yang lebih rendah untuk membayar utang dalam mata uang lokal," ujarnya.

Perhatian kini kembali tertuju pada sektor korporasi Indonesia setelah Rupiah mencapai titik terendah sepanjang sejarah bulan lalu. Hal ini mengingatkan pada krisis finansial Asia, ketika pelemahan Rupiah yang tajam membuat banyak perusahaan kesulitan membayar utang. 

Namun, menurut S&P, pelemahan Rupiah kali ini lebih lambat. Bahkan, penurunan nilai sebesar 5 persen lagi dalam satu setengah tahun ke depan diperkirakan tidak akan menyebabkan gangguan sebesar dulu.

“Kami tidak melihat pelemahan Rupiah sebagai faktor utama yang memengaruhi peringkat kredit perusahaan-perusahaan yang kami nilai saat ini,” kata Jean.

Jean juga menjelaskan bahwa perusahaan, konsumen, dan investor, kini mulai terbiasa dengan kondisi pelemahan Rupiah yang berlangsung perlahan, tanpa ada kepanikan atau reaksi pasar yang berlebihan.

Namun, ada beberapa perusahaan Indonesia yang masih rentan terhadap fluktuasi Rupiah, terutama yang memiliki utang dalam Dolar yang jatuh tempo dan sangat bergantung pada impor. 

Sektor-sektor yang termasuk dalam kategori ini adalah properti, maskapai penerbangan, dan industri yang membutuhkan energi tinggi dan menjual produknya di pasar domestik.

Meski demikian, pelemahan Rupiah yang terjadi secara bertahap memberi waktu bagi perusahaan untuk menyesuaikan biaya operasional, harga jual, dan memungkinkan pelanggan untuk menyesuaikan diri dengan kenaikan harga.

Penerbitan obligasi dalam dolar AS hanya sedikit lebih dari 2,3 miliar Dolar AS pada tahun lalu, dan masih lesu setelah mencapai titik terendah sejak krisis keuangan global 2008 pada 2023. Sementara itu, jumlah peminjam yang menggalang dana melalui obligasi domestik meningkat menjadi Rp143 triliun pada tahun 2024, naik dari kurang dari Rp90 triliun pada tahun 2020.

“Meski penerbitan obligasi dalam Dolar AS melambat, likuiditas dan biaya pendanaan di sistem perbankan domestik telah membaik secara signifikan sejak 2022, mengurangi risiko likuiditas dan pembiayaan ulang,” kata Jean.

“Perusahaan yang masih menggunakan pendanaan dalam dolar kini juga semakin umum menggunakan lindung nilai mata uang (currency hedging),” tambahnya. rmol news logo article
EDITOR: RENI ERINA

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA