Laporan terkini dari otoritas China mengklaim, situasi aktivitas manufaktur negeri terbesar di Asia itu yang terkontraksi sangat signifikan pada April ini. Indeks PMI manufaktur dilaporkan hanya sebesar 49,0 dan jauh lebih rendah dibanding ekspektasi pasar yang di kisaran 49,8. Laporan lebih jauh menyebutkan, rontoknya Indeks PMI tersebut sebagai imbas langsung dari perang dagang yang telah ditabuh oleh Trump beberapa pekan sebelumnya.
Catatan menunjukkan, posisi Indeks PMI tersebut yang bahkan telah berada di level terendah dalam hampir dua tahun terakhir. Situasi ini merupakan sinyal bahaya yang sangat serius mengingat sebelumnya sejumlah analis telah memperkirakan kinerja perekonomian China yang di ambang kemerosotan. Pukulan perang tarif oleh Trump akan benar-benar menjadi mimpi buruk dan menjadikan perekonomian China mengalami demam.
Sentimen muram dari China ini kemudian berpadu dengan sesi perdagangan penuh keraguan di bursa Wall Street sebelumnya, di mana meski seluruh Indeks mampu bertahan di zona penguatan moderat tetapi kerawanan pesimisme masih mengintai akibat perang tarif yang diyakini mulai berimbas pada perekonomian AS.
Meski demikian, sikap optimis pelaku pasar di Asia kukuh bertahan di sepanjang sesi perdagangan usai sempat goyah pasca rilis data indeks PMI China. Pantauan menunjukkan, kinerja Indeks di Asia akhirnya terjebak dalam rentang moderat dan mixed. Situasi tersebut kemudian berlanjut hingga sesi perdagangan sore berakhir.
Hingga sesi perdagangan ditutup, indeks Nikkei (Jepang) menguat moderat 0,57 persen di 36.045,38, sementara indeks ASX 200 (Australia) melonjak 0,69 persen di 8.126,2 dan indeks KOSPI (Korea Selatan) merosot 0,34 persen di 2.556,61. Laporan dari jalannya sesi perdagangan di Asia juga menunjukkan, perhatian investor yang sempat tersita pada rilis kinerja Keuangan kuartal pertama raksasa teknologi Korea Selatan, Samsung yang moncer. Namun sentimen keraguan dari tensi dagang AS-China dan Indeks PMI manufaktur China masih tetap mendominasi.
Rangkaian sentimen yang berkembang di Asia tersebut akhirnya menghadirkan keraguan bagi pelaku pasar di Jakarta. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang mampu membuka sesi pagi dengan gerak naik moderat terkesan rentan dan dengan segera tergelincir di zona merah. Beruntungnya, IHSG dengan cepat mampu berbalik positif dan konsisten menjejak di rentang terbatas hingga sesi perdagangan sore.
Situasi dan sentimen yang berkembang terlihat tak jauh beranjak pada sesi perdagangan sore. IHSG akhirnya menutup sesi menjelang libur hari Buruh dengan naik moderat 0,26 persen di 6.766,79. Gerak positif dan dalam rentang terbatas IHSG sekaligus mencerminkan sikap ragu pelaku pasar dalam menantikan rangkaian sentimen terkini dari rilis data kinerja perekonomian AS.
Sejumlah saham unggulan yang masuk dalam jajaran teraktif ditransaksikan terpantau masih mampu menutup di zona positif, seperti: BBNI, BBCA, TLKM, UNTR, SMGR, UNVR, CPIN, ICBP dan INDF. Namun kinerja positif tersebut terpupus oleh sejumlah saham unggulan lain yang kembali terperosok dalam zona merah, seperti: BMRI, ISAT, PGAS, PTBA, JPFA, ITMG dan BBTN.
Dolar AS Tunduk di Bawah Rp16.600
Kinerja bimbang bursa saham Indonesia, terkesan agak kontras dengan situasi di pasar uang. Pantauan terkini menunjukkan, kinerja nilai tukar Rupiah yang justru semakin gemilang dengan mencetak penguatan lanjutan secara konsisten dan tajam di sepanjang sesi. Sentimen eksternal dari bertahannya penguatan mata uang utama dunia mampu dimaksimalkan pelaku pasar untuk mengangkat Rupiah lebih jauh.
Laporan sebelumnya dari pasar global menunjukkan, posisi Indeks Dolar AS yang masuk tertekan menyusul rangkaian perkembangan perang tarif Trump yang dikhawatirkan mulai berimbas pada kinerja perekonomian AS. Pola dan situasi tersebut kemudian menjadi bekal positif bagi mata uang Asia untuk menguat, meski dalam rentang yang cenderung moderat.
Pantauan terkini hingga sesi perdagangan sore ini berlangsung menunjukkan, Rupiah yang bertengger di kisaran Rp16.597 per Dolar AS setelah melonjak signifikan 0,94 persen dengan sempat mencetak titik terkuatnya di kisaran Rp16.589 per Dolar AS yang sekaligus menembus ke bawah level psikologisnya di Rp16.600. Pantauan juga memperlihatkan, kinerja mata uang Asia yang seragam beralih menginjak zona penguatan.
Rupiah bahkan kini mendapatkan giliran untuk menahbiskan diri sebagai mata uang terkuat di Asia setelah sempat mencetak lonjakan hingga kisaran 0,98 persen. Selebihnya, kisaran penguatan mata uang Asia cenderung berada di rentang moderat..
Tinjauan RMOL juga memperlihatkan, minimnya suntikan sentimen domestik yang tersedia pada sepanjang sesi perdagangan hari ini, yang sekaligus memaksa porsi perhatian pelaku pasar tercurah sepenuhnya pada rangkaian sentimen eksternal yang berkembang.
Sikap pelaku pasar secara keseluruhan masih cenderung menantikan rilis data perekonomian AS menyangkut pertumbuhan GDP dan data ketenaga kerjaan, NFP. Di mana pelaku pasar mulai curiga, pukulan tarif Trump akan segera berimbas. Gerak turun Indeks Dolar AS dan menguatnya Rupiah mencerminkan upaya investor mengantisipasi buruknya data perekonomian akibat perang tarif.
BERITA TERKAIT: