Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin mengatakan, meski ada kebijakan yang positif, terdapat enam masalah mendasar yang perlu segera diperbaiki jika pemerintahan Prabowo ingin mencapai visi pembangunan yang lebih baik.
"Salah satu yang paling penting adalah masalah koordinasi, dan perbedaan narasi antara kementerian, pemerintah pusat, dan daerah. Ini sangat masif terjadi akhir-akhir ini. Ini buruk karena membingungkan konsumen, membingungkan pelaku usaha, membingungkan investor,"ujar Wijayanto dalam webinar bertajuk "Evaluasi Kritis 100 Hari Pemerintahan Prabowo di Bidang Ekonomi" yang digelar pada Rabu, 22 Januari 2025.
Ia mengingatkan bahwa ketidakharmonisan antar lembaga pemerintah dapat menimbulkan ketidakpastian yang merugikan sektor ekonomi.
Selain itu, Wijayanto juga mengkritik komunikasi publik pemerintah yang dinilai kurang efektif. Ia menekankan bahwa sering kali pemerintah memberikan janji-janji yang sangat tinggi tanpa disertai langkah-langkah yang jelas untuk merealisasikannya.
"Banyak janji yang sifatnya over promise. Tetapi pada saatnya nanti tidak terwujud, maka ini akan menjadi PR yang luar biasa besar," tuturnya.
Wijayanto menambahkan, pemerintahan Prabowo juga terlalu banyak menggunakan kebijakan yang bersifat parsial, seperti penghapusan utang bagi UMKM tanpa memperhatikan ekosistem yang lebih luas.
"Kita ingin swasembada gula, beras, jagung dengan membatasi impor. Padahal dibalik itu ada rentetan hal kebijakan action yang harus dilakukan," katanya.
Ia juga mengkritik dominasi kebijakan populis yang menurutnya tidak selalu berorientasi pada keberlanjutan ekonomi. Seperti kebijakan kenaikan UMP yang harus diperhitungkan dengan baik, karena dampaknya bisa jangka panjang bagi perekonomian.
Selain itu, Wijayanto menyoroti lemahnya teknokrasi dalam pembuatan kebijakan. Ia menilai bahwa banyak kebijakan yang didorong oleh pertimbangan politik, bukan berdasarkan analisis teknis yang matang.
"Basis teknokrasi yang lemah akan menyulitkan pemerintah untuk membuat kebijakan yang tepat. Oleh karena itu, penting untuk melibatkan lebih banyak (ahli) dalam pengambilan keputusan," ujarnya.
Pemerintah juga diminta untuk memperhatikan kesenjangan antara narasi besar dan implementasi di lapangan.
"Pemerintah seringkali memunculkan narasi besar, seperti pemberantasan korupsi atau peningkatan ekonomi, tetapi implementasinya di lapangan masih jauh dari harapan," kata Wijayanto.
Terakhir, Wijayanto mengingatkan agar pemerintah tidak terlalu bergantung pada survei kepuasan publik sebagai indikator keberhasilan.
"Nah, ini saya rasa sesuatu yang harus dihindari, karena survei itu tidak menggambarkan realita seringkali. Misalnya begini, baru saja ada survei Litbang Kompas, 80 persen publik puas, 100 hari kerja Prabowo-Gibran. Permasalahannya, Kompas-nya benar, dia melakukan survei, yang salah adalah sampelnya. Masyarakat kita tidak well-informed," katanya.
"Saya ingin ambil contoh, pada jaman pemerintahan Jokowi, tahun 2024 adalah tahun terburuk dari dua pemerintahan Jokowi. Ada lima bulan penuh PHK, lima bulan beli menurun, ada lima bulan diisi dengan deflasi atau inflasi negatif. Tetapi kalau kita survei, survei indikator, 74,9% masyarakat puas," jelasnya
Menurutnya, Pemerintah harus mengandalkan data yang lebih kredibel dan menyeluruh dan tidak mengandalkan survei sebagai ukuran sukses.
"Idealnya pemerintah itu tidak mengandalkan survei seperti ini sebagai ukuran sukses, tapi memang mengandalkan data statistik yang credible," pungkasnya.
BERITA TERKAIT: