PPN adalah pajak yang dikenakan atas penyerahan barang dan jasa kena pajak. PPN bersifat tidak langsung. Hal itu diatur berdasarkan UU Nomor 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Alhasil, kebijakan kenaikan PPN 12 persen itu akan memberatkan rakyat di tengah kondisi ekonomi yang tak pasti saat ini.
“Walaupun berdasarkan UU, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati harus menjelaskan kerangka rasional atau
logical framework alasan kenaikan PPN ini selain kepatuhan dan tunduk kepada peraturan perundang-undangan berlaku,” kata ekonom konstitusi, Defiyan Cori kepada
RMOL, Senin, 18 November 2024.
Lanjut dia, di tengah pertumbuhan ekonomi yang masih stagnan di angka 4-5 persen dan deflasi selama 4 bulan lebih sebesar 0,03-0,08 persen, pelaksanaan kebijakan ini sangat berbahaya.
“Justru dengan memaksakan penerapan UU ini tindakan kerusakan moral atau
moral hazard luar biasa, apalagi Menkeu juga representasi kelompok wanita dan ibu rumah tangga yang (semestinya) lebih mengedepankan hati nurani,” ucap ekonom jebolan Universitas Gadjah Mada (UGM) tersebut.
Bahkan, masih kata dia, jika alasan untuk menggenjot penerimaan negara dari sumber pajak juga tidak menemukan alasan logisnya.
“Apalagi pada tahun 2023, penerimaan pajak sejumlah Rp1.869,2 triliun mengalami peningkatan, adapun PPN dan PPnBM mencapai Rp764,3 triliun. Jika, PPN naik menjadi 12 persen, maka tambahan untuk PPN hanya sekitar Rp20,26 triliun dan tidak signifikan. Pertanyaannya, lalu apa motif kenaikan PPN ini yang UU-nya disahkan juga oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia?” tandas Defiyan.
BERITA TERKAIT: