Kebijakan yang keluar pada Maret 2024 itu sejak awal sudah terendus berbagai kejanggalan. Sebulan kemudian, media
Tempo mengulas adanya aroma amis dalam Permen KP tersebut.
Enam bulan berlalu, efek kebijakan ini benar-benar dirasakan oleh para nelayan dan pembudidaya lobster. Dalam kurun waktu tersebut, Menteri Trenggono sudah dua kali dilaporkan ke KPK terkait dugaan manipulatif dalam peredaran bisnis benih bening lobster (BBL).
Desakan dari nelayan lobster di berbagai daerah seperti Bali, Lombok, Bima dan Cilacap agar penegak hukum menyelidiki peredaran bisnis ini terus dilakukan.
Ketua Wahana Lobster Sukabumi, Wahyu Alamsyah menilai banyak bukti-bukti yang valid di lapangan mengenai semangat Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang katanya fokus terhadap budidaya lobster, namun ternyata justru lebih mementingkan pengiriman BBL ke luar negeri alias ekspor.
“KPK perlu selidiki dugaan adanya kesepakatan timbal balik para pihak perusahaan ekspor BBL, pembeli, pemberi dan penerima yang sama–sama memperoleh keuntungan, seperti pola pembentukan, penunjukan dan atau panitia kerja dalam kebijakan ekspor benih lobster yang melibatkan semua pihak,” ujar Wahyu dalam keterangan yang diterima redaksi, Kamis (19/9).
Lima perusahaan joint venture dengan Vietnam dituding telah memonopoli alur bisnis BBL ke luar negeri. Dalih menjadikan Jembrana sebagai sentra budidaya lobster berteknologi tinggi dari Vietnam pun masih belum tampak.
Menurut Wahyu, kebijakan ekspor BBL itu, terdapat
driver team yang bertanggung jawab memanggil, mencari, menetapkan perusahaan ekspor benih yang berakibat monopoli, sehingga dugaan korupsi terkait pemberian
fee terjadi dalam alur ini.
“Apalagi, pada bagian kesatu, kedua dan ketiga Permen 7/2024 menjelaskan penangkapan BBL difokuskan untuk budidaya, penelitian (riset) dan pendidikan. Tak ada satu pun pasal yang izinkan ekspor BBL dan izin budidaya di luar negeri,” jelasnya.
Namun pada kenyataannya, berdasarkan penelusurannya sudah ada jutaan BBL yang dikirim ke luar negeri. Sementara BBL yang ditebar alias yang dibudidaya di Jembrana baru kisaran 200 ribu ekor. Jumlah tersebut tentunya sangat timpang.
Wahyu juga menyorot peran dan fungsi BLU yang bertugas membeli dan mengumpulkan BBL dari koperasi nelayan untuk budidaya dan ekspor.
“Peran ini sangat janggal karena tak sesuai dengan kebutuhan maupun fasilitas tempat budidaya. Apalagi proses ekspor BBL, dugaan kuatnya tak seimbang jumlah ekspor BBL dengan PNBP yang diperoleh negara,” bebernya.
“Maka itu kami mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk percepat penyelidikan, penyidikan dan penindakan untuk periksa pejabat KKP dan perusahaan ekspor BBL maupun BLU BPBAP Situbondo,” tegasnya
Masih kata Wahyu, KPK juga harus memeriksa seluruh kepala dinas yang telah memberi izin kepada koperasi-koperasi dadakan yang dibentuk oleh perusahaan joint venture.
“Yang jelas ini sangat merugikan nelayan dan sangat jelas ada monopoli di sini,” tandasnya.
BERITA TERKAIT: